Jakarta, RonggolaweNews
Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memberi peringatan keras kepada lembaga jasa keuangan yang membiarkan debt colector untuk menarik paksa kendaraan. Bukan cuma peringatan, sanksi keras juga akan diberikan OJK bila ada lembaga jasa keuangan yang menarik paksa kendaraan.
“OJK tidak mentolerir debt collector yang melanggar hukum dan akan memberi sanksi keras kepada perusahaan pembiayaan yang melanggar.” kata Jubir OJK Sekar Putih Djarot dalam keterangannya di akun Instagram @ojkindonesia, dikutip Selasa (11/05/2021).
Saat ini OJK tengah berkoordinasi dengan asosiasi perusahaan pembiayaan untuk menertibkan perusahaan yang masih menyalahgunakan penggunaan debt colector.
“OJK telah berkoordinasi dengan pihak asosiasi perusahaan pembiayaan untuk menertibkan anggotanya dalam menjalankan ketentuan penagihan yang sesuai dengan aturan yang berlaku.” jelas Sekar.
Masalah debt colector kembali heboh usai sebuah video yang menunjukkan anggota TNI AD dicegat dan dikerubungi debt collector viral beberapa waktu lalu. Belakangan diketahui bahwa kejadian itu merupakan upaya penarikan kendaraan yang dilakukan oleh debt collector.
Kejadiannya bermula ketika ada sebuah mobil dikerubungi 10 orang dan menyebabkan kemacetan di bilangan Jakarta Utara. Anggota TNI yang bernama Serda Nurhadi mengetahui hal itu dan ternyata di dalamnya anak anak kecil dan orang yang sedang sakit.
Serda Nurhadi berinisiatif untuk membantu dan mengambil alih supir untuk antar ke rumah sakit. Namun para debt collector itu tetap mengerubuti dan berniat mengambil alih mobil tersebut.
Pada Januari 2020 silam, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa perusahaan leasing tidak bisa lagi melakukan penarikan obyek jaminan fidusia seperti rumah dan kendaraan secara sepihak. Penarikan hanya bisa dilakukan jika ada pengakuan dari debitur.
Hal itu tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut perusahaan leasing harus meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri.
Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 disebutkan penerima hak fidusia atau kreditur tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.
Namun, perusahaan leasing masih tetap boleh melakukan eksekusi tanpa melalui pengadilan dengan syarat debitur mengakui adanya wanprestasi.
“Sepanjang pemberi hak fidusia telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi obyek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia untuk dapat melakukan eksekusi sendiri,” bunyi putusan tersebut.
Wanprestasi yang dimaksud adalah MK menyatakan pihak debitur maupun kreditur harus bersepakat untuk menentukan kondisi wanprestasi.
Sementara itu, menurut penjelasan Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno, ada tata cara dalam melakukan penarikan kendaraan di jalan. Tata cara itu wajib diajarkan oleh anak usaha APPI kepada para petugas debt collector.
Yang perlu diperhatikan, saat ini perusahaan leasing harus menggunakan jasa penagihan pihak ketiga dalam bentuk perusahaan, tidak boleh lagi perorangan. Lalu perusahaan penagihan itu harus mengirimkan karyawan debt collector-nya untuk dilatih di anak usaha APPI tersebut.
Nah untuk tata caranya, pertama ada beberapa dokumen yang harus debt collector bawa sebelum melakukan eksekusi seperti sertifikat fidusia. Kemudian debt colector harus membawa surat kuasa eksekusi dari perusahaan leasing.
Lalu debt collector tersebut harus bisa menunjukkan bahwa dirinya bersertifikat dan telah ikut pelatihan. Hal itu sudah tertuang dalam POJK 35 Tahun 2018 pasal 65. Terakhir dia juga harus membawa surat somasi.
Nah untuk prosesnya, debt colector wajib memberitahukan debitur tersebut dengan sopan santun tanpa kekerasan. Jika debiturnya nakal, maka debt collector bisa mengajak polisi dan perwakilan perusahaan pembiayaan.