Kebijakan pemerintah memberikan subsidi gaji bagi pekerja dengan penghasilan di bawah Rp.10 juta tampak manis di permukaan, namun menyimpan jurang ketidakadilan yang dalam. Bagaimana dengan mereka yang tidak bergaji tetap? Bagaimana dengan wartawan lepas, aktivis LSM, pedagang kecil, petani, nelayan, hingga buruh serabutan yang justru menopang denyut nadi ekonomi rakyat bawah?
Fakta lapangan menunjukkan, sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di sektor informal—tanpa slip gaji, tanpa perlindungan sosial memadai, dan tanpa kepastian penghasilan bulanan. Namun, mereka inilah yang paling sering dilupakan dalam setiap kebijakan “subsidi” pemerintah.
Retorika pemerintah soal stimulus ekonomi hanya menyentuh kalangan yang sudah relatif mapan, bukan rakyat miskin yang betul-betul berjuang dari hari ke hari. Ini bukan hanya masalah teknis distribusi, tetapi cermin dari paradigma pembangunan yang lebih condong melayani “yang sudah terdata” ketimbang melindungi “yang terlupakan”.
Jika pemerintah benar-benar serius membangun keadilan sosial, maka subsidi harus diarahkan juga ke profesi-profesi informal. Tidak boleh ada lagi dikotomi antara pekerja formal dan non-formal, karena keduanya sama-sama menyumbang bagi keberlangsungan bangsa.
Jangan sampai jargon “subsidi gaji” hanya menjadi kosmetik politik yang mengabaikan jeritan rakyat di jalanan, di pasar, di ladang, dan di laut.
Ronggolawe News berdiri untuk menyuarakan mereka yang terpinggirkan, agar negara kembali ingat pada rakyatnya yang sebenarnya.
Bagaimana dengan masyarakat yang tidak punya pekerjaan tetap atau yang hidup dari profesi tanpa gaji bulanan, seperti wartawan lepas, pedagang kecil, petani gurem, atau pekerja informal lainnya?
Dalam skema subsidi gaji yang disampaikan Menko Airlangga, syarat utamanya adalah adanya penghasilan tetap di bawah Rp.10 juta. Itu artinya:
Pekerja dengan slip gaji resmi → berhak atas subsidi.
Pekerja informal/mandiri (wartawan lepas, tukang, nelayan, pedagang kaki lima, dsb.) → umumnya tidak masuk karena tidak memiliki bukti penghasilan tetap.
👉 Kesenjangan yang muncul:
- Pekerja formal lebih diuntungkan, sementara pekerja informal yang justru jumlahnya lebih banyak tidak tersentuh.
- Profesi seperti wartawan lepas, yang sangat penting dalam menjaga demokrasi dan kebebasan pers, rawan diabaikan dalam program perlindungan sosial.
- Pemerintah selama ini lebih fokus pada pekerja bergaji tetap, padahal hampir 60% angkatan kerja di Indonesia ada di sektor informal.
Solusi yang seharusnya dipertimbangkan:
Pemerintah perlu membuat skema perlindungan sosial khusus untuk pekerja informal, misalnya bantuan langsung tunai berbasis registrasi profesi atau komunitas (contoh: organisasi pers untuk wartawan).
Padat karya berbasis profesi → wartawan bisa diberdayakan melalui proyek informasi publik, liputan edukasi masyarakat, hingga monitoring program pemerintah.
Mengintegrasikan pekerja informal ke dalam BPJS Ketenagakerjaan dengan subsidi iuran, agar mereka tetap terlindungi.
Jadi, untuk wartawan dan profesi sejenis yang tidak menerima gaji bulanan, subsidi gaji tidak bisa diakses. Yang dibutuhkan adalah kebijakan berbeda, bukan hanya mengandalkan stimulus yang berbasis gaji.
Baru kemarin. Pemerintah kembali mengumbar janji manis dengan program subsidi gaji bagi pekerja dengan upah di bawah Rp.q10 juta. Sekilas tampak indah, seolah negara hadir untuk melindungi rakyat kecil. Namun, jika ditelisik lebih jauh, kebijakan ini hanya menyentuh pekerja formal yang bergaji tetap.
Lalu bagaimana dengan mereka yang hidup di jalur informal?
Bagaimana dengan wartawan lepas, pegiat LSM, pedagang kaki lima, tukang ojek, nelayan, hingga petani gurem yang tidak pernah merasakan slip gaji bulanan?
Mereka seakan tidak dihitung sebagai warga negara yang berhak mendapat perlindungan. Padahal, kelompok inilah yang paling rentan terhadap gejolak ekonomi.
Wartawan lepas misalnya, profesi yang justru berperan menjaga demokrasi, membongkar skandal, dan menyuarakan jeritan rakyat, kini dibiarkan berjalan sendiri tanpa subsidi, tanpa perlindungan. Ironis, ketika penguasa bergelimang fasilitas negara, rakyat pekerja informal justru dikorbankan atas nama regulasi.
Subsidi gaji hanyalah jurus setengah hati.
Ia mungkin memperkuat loyalitas pekerja formal, tapi sekaligus memperlebar jurang ketidakadilan sosial. Jika pemerintah serius ingin menyejahterakan rakyat, maka skema perlindungan harus menjangkau pekerja informal, bukan hanya mereka yang punya slip gaji.
Apakah negara hanya hadir untuk yang bergaji tetap?
Apakah nasib wartawan lepas, pejuang LSM, dan rakyat pekerja informal harus terus dipinggirkan?
Ronggolawe News menegaskan: Keadilan sosial tidak boleh pilih kasih.
Anto Sutanto
Pemimpin Redaksi
Media Ronggolawe News