Mojokerto, Ronggolawe News – Belum tuntas kasus dugaan premanisme yang dialami pasangan suami istri Heris Choiruman dan Anjiroh Mufidah, warga Desa Medali, Kecamatan Puri, kini muncul kasus serupa yang menimpa Setiyono, warga Wates, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto.
Setiyono menceritakan kronologi kepada awak media. Rabu (24/09/2025) sekitar pukul 08.30 WIB, ia mengemudikan mobil menuju kantornya melewati Jalan Raya Jayanegara, arah Terminal Mojokerto.

“Tiba-tiba saya diberhentikan secara paksa oleh empat orang yang menggunakan mobil Avanza putih. Mereka mengaku sebagai petugas dari leasing BFI Finance. Untuk menghindari keributan di jalan, saya mengajak mereka ke kantor saya, namun mereka menolak dan malah memaksa saya mengikuti mereka. Salah satu bahkan masuk ke mobil yang saya kendarai,” jelas Setiyono.
Ia kemudian diarahkan ke kantor BFI Finance di Jalan Pahlawan, Kota Mojokerto. Di sana, ia dibawa ke sebuah ruangan dan diminta menyerahkan KTP dan STNK dengan alasan pengecekan. Ia juga diminta menandatangani berita acara serah terima mobil Pajero Sport miliknya.
“Saya menolak menandatangani. Mereka lalu meminta kunci mobil untuk dicek kilometernya. Setelah itu saya pulang sekitar pukul 10.10 WIB, tetapi mobil, kunci, dan STNK saya ditahan. Hanya KTP yang dikembalikan,” tambahnya.
Masalah tidak berhenti di situ. Keesokan harinya (25/09/2025), empat orang yang sama datang ke kantor Setiyono di Jalan Tirta Suam dua kali dalam sehari. Mereka diduga berkata kasar dan arogan sehingga membuat para karyawan ketakutan.
Puncaknya terjadi pada Jumat pagi (26/09/2025) sekitar pukul 06.10 WIB. Tiga orang petugas kembali mendatangi rumahnya di Jalan Suromulang Barat. Meski Setiono sudah menjelaskan bahwa masalah ini telah dikuasakan kepada penasihat hukum, mereka tetap berbicara dengan nada tinggi, membuat anak-anak dan mertuanya ketakutan.
Pelanggaran Hukum dan Etika Penagihan
Agus Sholahuddin, S.HI., dari firma hukum ELTS yang menjadi kuasa hukum Setiono, menegaskan tindakan tersebut tidak hanya melanggar etika, tapi juga berpotensi pidana.
“Penghentian paksa di jalan raya, memaksa ikut ke kantor, menahan STNK dan mobil, serta mendatangi rumah dan kantor dengan nada mengintimidasi adalah praktik yang menyerupai perampasan dan pemerasan,” tegas Agus.
Ia mengutip Pasal 368 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, maka diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”
Tindakan menghentikan kendaraan di jalan dan memaksa korban ikut ke kantor juga dapat dikualifikasikan sebagai perampasan kemerdekaan sesuai Pasal 333 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja merampas kemerdekaan seseorang, diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.”
Selain itu, Pasal 50 ayat (1) POJK Nomor 35/POJK.05/2018 menegaskan:
“Penarikan benda jaminan fidusia wajib dilakukan secara sopan, beretika, dan menghormati hak-hak konsumen.”
Desakan ke Aparat dan OJK
Agus mendesak aparat penegak hukum dan OJK untuk bertindak tegas:
- Perusahaan pembiayaan harus diawasi ketat. Bila benar ada kekerasan, intimidasi, dan pengambilan paksa tanpa prosedur hukum, ini pelanggaran serius hak konsumen.
- Debt collector jangan jadi preman. Menyerobot STNK, memaksa masuk mobil, lalu mengurung korban di kantor jauh dari etika penagihan.
- Polisi harus bergerak cepat. Ada bukti potensial pemerasan dan ancaman. Jika dibiarkan, publik akan menganggap premanisme leasing dilindungi aparat.
- OJK wajib beri sanksi tegas. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap industri pembiayaan akan runtuh.
- Publik harus tahu hak-haknya. Penagihan utang tidak boleh brutal. Kasus ini harus jadi pelajaran bagi semua pihak.
Publik kini mempertanyakan keseriusan aparat penegak hukum Mojokerto. Kasus ini sudah viral, namun hingga kini belum ada tindakan nyata terhadap para pelaku.
“Seharusnya Polres Mojokerto Kota dan Polres Mojokerto segera melakukan penyelidikan, memeriksa, dan menangkap para pelaku. Operasi pekat terhadap praktik premanisme berkedok debt collector harus digencarkan. Jika dibiarkan, masyarakat akan takut menggunakan layanan pembiayaan karena merasa tidak ada perlindungan hukum,” kata Agus.
Ia menegaskan pihaknya akan melayangkan somasi resmi kepada BFI Finance. Jika tidak diindahkan, pihaknya akan membawa kasus ini ke pengadilan.
“Penegakan hukum yang tegas memberi pesan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara preman,” pungkasnya.