Tuban, Ronggolawe News– Kejaksaan Negeri (Kejari) Tuban resmi menahan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi Pendapatan Asli Desa (PADes) yang bersumber dari pengelolaan Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) “Tirto Sandang Pangan”, Desa Kedungsoko, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban.
Ketiganya yakni Kepala Desa Kedungsoko Rifai, Ketua HIPPA Eko Prayetno, dan Bendahara HIPPA Rahmat Wahyudi. Ketiganya digelandang ke Lapas Kelas II B Tuban setelah menjalani pemeriksaan intensif di Kantor Kejari Tuban, Kamis (23/10/2025).
Kasi Pidsus Kejari Tuban, Yogi Natanael Cristianto, mengatakan bahwa penahanan dilakukan setelah penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup kuat.
“Ketiga tersangka kami titipkan ke Lapas Kelas II B Tuban untuk dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan,” ujar Yogi.
Dalam masa penahanan itu, tim penyidik akan melengkapi berkas perkara sebelum dilimpahkan ke pengadilan.
Dugaan Modus: Dana HIPPA dan Lelang Tanah Kas Desa Tak Disetorkan
Yogi menjelaskan, modus yang digunakan para tersangka adalah tidak menyetorkan seluruh hasil usaha HIPPA yang telah berbentuk BUMDes. Selain itu, mereka juga tidak menyetorkan secara penuh hasil lelang pengelolaan Tanah Kas Desa (TKD) Kedungsoko selama tiga tahun terakhir, mulai 2022 hingga 2024.
Akibat perbuatan tersebut, negara ditaksir merugi hingga Rp1.260.590.519.
“Kerugian negara mencapai lebih dari satu miliar dua ratus juta rupiah,” ungkap Yogi.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal seumur hidup.
Jejak Panjang Kasus: Berawal dari Penggeledahan di Balai Desa
Kasus ini mencuat setelah penggeledahan yang dilakukan Kejari Tuban pada 7 Agustus 2025 di Balai Desa Kedungsoko. Dari lokasi tersebut, penyidik menyita berbagai dokumen penting, termasuk buku tabungan atas nama HIPPA, kwitansi pembayaran operasional, laporan pembelian solar, serta dokumen terkait pengelolaan dana desa dan tanah kas desa.
Langkah kejaksaan ini dilakukan berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejari Tuban Nomor: PRINT-1245/M.5.33/Fd.2/08/2025 tertanggal 1 Agustus 2025.
Pertanyaan Publik: Di Mana Fungsi Pengawasan Desa dan Kecamatan?
Meski Kejari Tuban bergerak cepat, muncul pertanyaan publik mengenai lemahnya sistem pengawasan di tingkat desa dan kecamatan. Dugaan penyimpangan miliaran rupiah dari lembaga yang seharusnya membantu petani ini, diduga terjadi selama bertahun-tahun tanpa ada deteksi dini dari Inspektorat atau Dinas terkait.
Padahal, HIPPA “Tirto Sandang Pangan” dibentuk untuk mendukung pengelolaan air irigasi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, ironisnya, lembaga tersebut justru diduga dijadikan ladang korupsi oleh oknum yang memiliki kekuasaan di desa.
Warga berharap, kejaksaan tidak hanya berhenti pada tiga tersangka, tetapi juga menelusuri aliran dana yang diduga mengalir ke pihak lain. “Kalau nilainya sampai lebih dari satu miliar, mustahil hanya tiga orang yang bermain,” ujar salah satu warga Kedungsoko yang enggan disebut namanya.
Publik Tunggu Transparansi dan Komitmen Penegakan Hukum
Kasus ini menjadi ujian bagi Kejari Tuban untuk membuktikan komitmennya dalam memberantas korupsi hingga ke level pemerintahan desa. Sebab, korupsi di tingkat desa kerap dianggap ‘ringan’, padahal dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat bawah, terutama petani.
Masyarakat kini menanti, apakah perkara ini benar-benar akan dibuka secara transparan hingga ke meja hijau, atau justru berakhir dengan kompromi di balik layar.
Reportase Media Ronggolawe News
Mengabarkan






























