Jakarta, Ronggolawe News – Badan Gizi Nasional (BGN) resmi memberlakukan pembatasan baru bagi dapur pelaksana program Makan Bergizi Gratis (MBG). Berdasarkan petunjuk teknis (juknis) terbaru, setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) hanya diperbolehkan melayani maksimal 2.500 penerima manfaat per hari.
Langkah ini, menurut BGN, merupakan bagian dari upaya menjaga standar gizi, keamanan pangan, dan kualitas penyajian di tengah meningkatnya skala program nasional tersebut.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menjelaskan kebijakan ini menyesuaikan dengan kapasitas dapur di lapangan agar distribusi makanan tetap higienis dan terkontrol.
“Kalau sebelumnya bisa melayani antara 3.000 sampai 4.000 penerima, dengan juknis baru ini kita maksimalkan rata-rata 2.500. Sekitar 2.000 untuk anak sekolah, sisanya untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita,” ujar Dadan dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (12/11/2025).
Transisi Bertahap, Tak Boleh Ganggu Layanan Penerima
Meski pembatasan mulai diberlakukan, BGN memastikan tidak ada penerima manfaat yang kehilangan akses makan bergizi. Dapur-dapur yang masih melayani hingga 4.000 orang diperbolehkan beroperasi sementara, sembari menunggu terbentuknya SPPG baru di wilayah sekitar.
“Selama penerima manfaat belum bisa dilayani SPPG lain, mereka masih boleh berjalan. Prinsipnya, pelayanan tidak boleh terputus,” tegas Dadan.
Untuk SPPG baru, batas awal ditetapkan 2.000 anak sekolah dan 500 ibu hamil/menyusui, namun dapat ditingkatkan hingga 3.000 penerima jika tenaga juru masak sudah bersertifikat profesional.
Standar Ketat: Rapid Test, Air Bersertifikat, dan Sterilisasi 120 Derajat
BGN menegaskan bahwa fokus utama saat ini bukan hanya pada kuantitas, tetapi juga pada kualitas dan keamanan pangan. Setiap dapur MBG diwajibkan melakukan rapid test bahan makanan untuk memastikan tidak ada kontaminasi kimia atau biologis.
Selain itu, seluruh dapur harus menggunakan alat sterilisasi food tray bersuhu minimal 120 derajat Celsius, guna mencegah keracunan makanan massal.
Air yang digunakan dalam proses memasak maupun pencucian peralatan juga wajib bersertifikat atau difilterisasi sesuai standar nasional.
SLHS Jadi Syarat Mutlak Operasional
Sebagai bagian dari reformasi tata kelola, Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) kini menjadi syarat wajib bagi seluruh SPPG. Dari lebih dari 14 ribu dapur yang beroperasi, baru 1.619 di antaranya telah mengantongi sertifikat resmi tersebut.
“Kami terus menggelar bimbingan teknis agar penjamah makanan memahami prinsip higienitas dan sanitasi. Penerapan SLHS kini menjadi wajib di semua dapur,” ujar Dadan.
Pelatihan dilakukan secara berkala setiap dua bulan atau pada akhir pekan untuk SPPG baru. BGN menegaskan percepatan sertifikasi SLHS juga bergantung pada komitmen pemerintah daerah masing-masing.
Ronggolawe News Catatan Redaksi:
Kebijakan baru ini menandai babak penting dalam konsolidasi program MBG. Di satu sisi, pembatasan jumlah porsi dianggap langkah realistis menjaga kualitas dan keamanan pangan. Namun di sisi lain, tantangan terbesar justru terletak pada kesiapan daerah memperluas jumlah dapur bersertifikat.
Tanpa percepatan di lapangan, pembatasan ini bisa menimbulkan ketimpangan layanan dan potensi antrean penerima manfaat. Pengawasan dan koordinasi lintas kementerian menjadi kunci agar niat baik menjaga kualitas tidak berubah menjadi hambatan dalam pelayanan publik.





























