Opini Oleh : Anto Sutanto
Ronggolawe News – Konflik berkepanjangan di Keraton Surakarta Hadiningrat kembali menyeruak ke permukaan. Bukan sekadar persoalan komunikasi internal, tetapi telah menjelma menjadi pertarungan legitimasi, politik identitas, dan klaim trah yang merentang dari masa lalu hingga ke kepentingan masa kini.
Sebagai pusat kebudayaan Jawa yang masih hidup, Keraton Surakarta membawa beban sejarah terlalu besar untuk dibiarkan terombang-ambing oleh konflik internal. Namun faktanya, selama lebih dari satu dekade, publik menyaksikan bagaimana simbol peradaban Jawa itu terjebak dalam kubu-kubu yang saling menegasikan.
Pertarungan Dua Kubu: Siapa yang Berhak Atas Legitimasi?
Dua poros kekuasaan muncul secara terang:
- Kubu Sinuhun PB XIII versi Sasono Mulyo
Kelompok ini mengklaim Sinuhun telah dinobatkan secara sah melalui mekanisme adat yang berlangsung di dalam keraton. Mereka menegaskan bahwa tidak ada istilah “penafsiran ulang” terhadap paugeran. Siapa yang diangkat melalui jalur adat, itulah raja.
Kubu ini menilai bahwa segala bentuk pelurusan sejarah yang dilakukan pihak luar adalah intervensi yang melemahkan martabat keraton.
- Kubu Lain (PB XIII versi Sitinggil)
Kubu ini menggunakan narasi koreksi sejarah dan perbaikan tata krama keraton. Mereka membawa gagasan modernisasi birokrasi dan menempatkan legitimasi raja sebagai sesuatu yang harus dikonsultasikan secara terbuka.
Bagi mereka, keraton tidak boleh dikelola dengan sikap tertutup karena keraton merupakan warisan publik.
Keraton yang Terbelah: Bukan Hanya soal Raja, Tapi soal Arah Kebudayaan
Konflik ini telah menggerus kewibawaan keraton sebagai pusat budaya Jawa. Banyak abdi dalem kebingungan menentukan posisi. Sementara masyarakat adat yang tinggal di sekitar keraton merasakan langsung dampak ketegangan berkepanjangan ini.
Keraton Surakarta seolah kehilangan peran sebagai mercusuar peradaban Jawa dan justru tergantikan oleh polemik internal, saling klaim, hingga gugatan hukum.
Padahal, Keraton Surakarta adalah:
Sumber pakem-pakem budaya
Penjaga pusaka, keris, tari, dan adat Jawa
Simpul spiritual masyarakat Jawa tengah
Ketika keraton retak, maka retak pula salah satu pilar budaya Nusantara.
Fenomena Baru: Campur Tangan Pemerintah dan Elite Lokal
Yang menarik, konflik ini memunculkan keterlibatan pihak luar—baik elite politik lokal, pengusaha, hingga pejabat pemerintahan. Mereka datang dengan beragam kepentingan:
Ada yang ingin memanfaatkan keraton sebagai legitimasi politik.
Ada yang melihat keraton sebagai potensi ekonomi dan wisata budaya.
Ada pula yang mengaku ingin meluruskan sejarah, tetapi justru menambah kompleksitas konflik.
Di sinilah letak persoalan krusial: manakala adat bertemu politik, maka pertarungan kekuasaan menjadi tak terhindarkan.
Pertanyaan Besar: Di Mana Masa Depan Keraton Surakarta?
Jika konflik ini tidak segera ditata, setidaknya lima risiko besar mengancam:
- Keraton menjadi sekadar bangunan tua, kehilangan roh budaya.
- Pusaka dan aset budaya rawan disalahgunakan selama tidak ada otoritas tunggal.
- Regenerasi adat terputus, karena anak muda melihat keraton sebagai sumber konflik.
- Ekosistem budaya Jawa melemah, padahal dunia modern justru haus identitas budaya.
- Keraton kehilangan legitimasi, baik di mata masyarakat Jawa maupun secara nasional.
Ronggolawe News: Jalan Tengah Harus Dibuka
Sebagai media yang mengedepankan keberpihakan pada kebenaran, Ronggolawe News menilai bahwa konflik Keraton Surakarta tidak akan selesai jika masing-masing kubu hanya berdiri pada klaim kebenaran absolut.
Keraton bukan milik satu kubu.
Keraton bukan milik elite politik.
Keraton bukan panggung perebutan gelar.
Keraton adalah milik peradaban Jawa.
Sudah saatnya kedua kubu duduk dalam rembug agung yang difasilitasi oleh tokoh-tokoh budaya netral—bukan pejabat, bukan pengusaha, bukan pemilik kepentingan politik.
Selain itu, pemerintah harus hadir sebatas pada ranah fasilitasi, bukan dominasi.
Keraton Surakarta dan Pemulihan Marwah Budaya
Keraton Surakarta sedang diuji.
Apakah ia mampu bangkit dari konflik internal?
Ataukah akan terus terjebak sebagai simbol budaya yang kehilangan wibawa?
Masyarakat luas berharap keraton kembali menjadi sumber kebijaksanaan, bukan arena perseteruan.
Dan di tengah segala polemik, satu hal tak boleh dilupakan:
Keraton adalah cermin jati diri Jawa. Ketika cerminnya retak, bayangan peradaban pun ikut pecah.
Keraton Surakarta harus kembali menjadi rumah besar budaya Jawa, bukan arena perebutan pengaruh. Warisan leluhur bukan milik perseorangan—ia adalah milik peradaban.
Penutup
Sebagai media yang menjunjung tinggi keberadaban, Ronggolawe News menegaskan:
Keraton harus berhenti menjadi headline konflik dan kembali menjadi pusat keagungan budaya.
Jika warisan budaya dikelola dengan adab dan kebijaksanaan, maka Surakarta akan kembali menjadi cahaya peradaban. Sebaliknya, jika dibiarkan terseret konflik, maka generasi mendatang hanya akan mewarisi cerita tentang keraton yang runtuh bukan oleh penjajah, melainkan oleh perebutan di dalamnya sendiri.
Penulis adalah Pimpinan Redaksi
Ronggolawe News





























