Jakarta, Ronggolawe News — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi mengesahkan aturan baru mengenai tata kelola Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai dasar penetapan dan pengelolaan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) bagi individu dan koperasi. Regulasi itu tertuang dalam Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2025, ditandatangani di Jakarta pada 14 November 2025.
Di atas kertas, aturan ini menjanjikan ruang legal bagi masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya mineral tanpa terjerat kriminalisasi tambang ilegal. Namun, sejumlah pengamat mempertanyakan implementasinya di lapangan, mengingat banyaknya kasus penyerobotan tambang rakyat oleh korporasi melalui modus koperasi dan afiliasi politik.
Detail Aturan
Permen ESDM 18/2025 merupakan turunan dari PP 39 Tahun 2025, revisi kedua atas PP 96 Tahun 2021. Dalam ketentuannya:
Usulan WPR diajukan Gubernur, mempertimbangkan eksistensi penambangan rakyat di wilayah setempat.
Lahan maksimal 100 hektare per blok WPR.
Kedalaman penambangan untuk mineral logam dibatasi 100 meter.
IPR perorangan maksimal 5 hektare, koperasi maksimal 10 hektare.
Gubernur wajib menyusun dokumen teknis yang berisi peta koordinat, kondisi tanah dan air, rencana penambangan, pengelolaan keselamatan, lingkungan, dan rencana reklamasi pascatambang.
Dokumen ini harus disertai rekomendasi teknis lintas lembaga, mulai dari kehutanan, tata ruang hingga sumber daya air.
Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan
Pemegang IPR wajib menempatkan jaminan reklamasi 10% dari setiap penjualan mineral dalam rekening qq gubernur. Dana tersebut baru dapat dicairkan setelah tahap pemulihan lingkungan dinilai selesai.
Selain itu, mineral logam dari tambang rakyat wajib diproses dan dimurnikan oleh BUMN/BUMD atau badan swasta yang ditunjuk pemerintah.
Distribusi Keuangan
Pasal 77 menegaskan bahwa pemegang IPR:
Wajib membayar iuran pertambangan rakyat
Komoditas non-logam wajib membayar pajak daerah
Pendapatan masuk ke struktur pendapatan daerah untuk pengelolaan tambang rakyat
Catatan Redaksi: Peluang Rakyat atau Justifikasi Legal untuk Pemodal?
Meskipun regulasi ini diklaim pro-rakyat, penerapan batasan luasan 10 hektare untuk koperasi dinilai terlalu besar untuk ukuran operasional rakyat kecil, dan justru membuka ruang permainan kelompok kuat yang memakai badan koperasi sebagai kedok.
Model perizinan terpusat di gubernur juga berpotensi melahirkan praktik persekongkolan dan keberpihakan politik lokal — terutama di daerah rawan konflik tambang seperti Jawa Timur, Sulawesi, dan Sumatera.
Sejumlah aktivis lingkungan menilai, keberadaan rekening jaminan reklamasi tidak otomatis menghentikan kerusakan ekologis, karena sejarah menunjukkan banyak kasus reklamasi fiktif yang berujung bencana sosial bagi wilayah tambang tradisional.
Pertanyaan Publik yang Perlu Jawaban:
- Apakah rakyat benar-benar menjadi aktor utama, atau hanya menjadi tameng izin bagi oligarki pertambangan?
- Bagaimana mekanisme pengawasan independen terhadap implementasi dokumen WPR?
- Apa jaminan tidak terjadi kriminalisasi tambang rakyat yang belum mendapatkan legalitas?
- Bagaimana pemerintah memastikan transparansi pengelolaan iuran pertambangan di daerah?
Penutup
Aturan yang dianggap sebagai napas baru bagi tambang rakyat ini harus dikawal ketat, terutama di daerah-daerah yang rawan praktik tangkap-lepas, oknum aparat yang bermain proyek, dan penetrasi cukong tambang.
Media Ronggolawe News akan terus melakukan pemantauan di lapangan serta membuka kanal pelaporan publik terkait potensi penyalahgunaan aturan ini.
📌 Redaksi Investigasi Ronggolawe News “Mengungkap fakta, bukan sekadar menyusun kata.”






























