Jakarta, Ronggolawe News – Polemik seputar pernyataan Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengenai keberadaan ahli gizi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menggelinding dan memicu respons serius dari Badan Gizi Nasional (BGN). Kepala BGN, Dadan Hindayana, menegaskan lembaganya tetap memprioritaskan sarjana gizi sebagai ujung tombak layanan gizi di seluruh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Menurut Dadan, kebutuhan ahli gizi di lapangan bersifat mendesak, sementara jumlah sarjana gizi tersedia belum sebanding dengan skala program MBG yang terus meluas.
“Yang kami kedepankan tetap sarjana gizi. Namun ketika terjadi kekurangan tenaga, BGN mencari solusi tanpa mengorbankan kualitas layanan. Itu sebabnya kami membuka opsi kompetensi lain yang juga memiliki dasar ilmu gizi,” ujar Dadan di Jakarta, Senin (17/11/2025).
BGN: Standar Menu Nasional Tidak Bisa Ditawar
Dadan menegaskan bahwa setiap SPPG wajib memiliki tenaga yang memahami kaidah gizi karena BGN menerapkan standar menu nasional sebagai dasar mutu program MBG.
“Jika bukan sarjana gizi, minimal mereka memiliki latar pendidikan dengan pengetahuan gizi seperti teknologi pangan atau kesehatan masyarakat. Yang penting kompetensinya teruji,” tegasnya.
Ia menjelaskan, meskipun program MBG mengadopsi fleksibilitas menu berbasis wilayah, komposisi gizi tetap menjadi mandat utama yang hanya bisa dikawal oleh tenaga kompeten.
Pernyataan Cucun yang Viral dan Tuai Reaksi
Sebelumnya, Cucun Ahmad Syamsurijal memantik perdebatan publik saat dalam sebuah forum ia menyebut ‘tidak membutuhkan ahli gizi’. Ia bahkan menyinggung adanya oknum ahli gizi yang dinilai arogan, sehingga memunculkan wacana pelibatan lulusan SMA sebagai relawan gizi.
Ungkapan ini viral dan memicu reaksi keras dari komunitas ahli gizi nasional.
Namun Cucun kemudian meluruskan pernyataannya. Ia mengklaim bahwa kalimat tersebut disampaikan sebagai respons atas usulan dari peserta forum itu sendiri.
“Di forum itu justru ada usulan dari ahli gizi sendiri yang tidak ingin ada istilah ‘ahli gizi’ dicantumkan lagi. Saya merespons bahwa kalau istilahnya diganti, konsekuensinya profesi itu bisa tergeser oleh profesi lain. Jadi konteksnya bukan meniadakan ahli gizi,” jelasnya.
Cucun menambahkan, perdebatan itu berakar dari hasil RDP Komisi IX DPR dengan BGN, yang salah satunya membahas kelangkaan tenaga gizi dalam implementasi MBG.
Cucun Akhirnya Minta Maaf
Di tengah gelombang kritik, Cucun telah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka melalui media sosialnya. Ia juga bertemu langsung dengan pengurus Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dan BGN untuk meredakan polemik.
“Saya sudah sampaikan permintaan maaf. Tadi malam kami juga berdiskusi dengan Ketua Persagi dan BGN untuk mencari titik temu agar program MBG tetap berjalan optimal,” ujarnya.
BGN: Komitmen Tidak Berubah
Di sisi lain, BGN menegaskan tidak ada perubahan sikap mengenai urgensi keberadaan ahli gizi di SPPG. Kualitas program MBG, menurut Dadan, sangat bergantung pada tenaga profesional yang memahami komposisi nutrisi dan implementasi menu secara ilmiah.
“Tanpa ahli gizi atau tenaga yang benar-benar paham gizi, kualitas program bisa menyimpang. Itu risiko yang tidak bisa ditoleransi,” tutup Dadan.





























