Surabaya, Ronggolawe News – Lahir dari semangat reformasi yang mendambakan kebebasan pers setelah dekade represi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) mengamanatkan pembentukan Dewan Pers sebagai entitas independen. Tujuannya mulia, mengawal kemerdekaan pers dan mendongkrak mutu jurnalisme di Indonesia.
Pasal 15 UU Pers secara gamblang menjabarkan fungsi utama Dewan Pers, yang jika dihayati betul, menempatkan lembaga ini sebagai benteng pelindung sekaligus katalisator kemajuan pers nasional.
Namun, seperti halnya institusi yang melibatkan manusia dan kekuasaan, implementasi ideal seringkali bergesekan dengan realitas praktik. Beberapa tindakan dan kecenderungan Dewan Pers dalam beberapa tahun terakhir memicu pertanyaan serius mengenai kesesuaiannya dengan mandat UU Pers, bahkan menimbulkan kekhawatiran akan potensi pengebirian kemerdekaan pers itu sendiri.
Kita bedah lebih lanjut beberapa poin krusial tentang Dewan Pers. Pertama, Dewan Pers terkadang melampaui fungsi mediasi dan adjudikasi memiliki validitas yang kuat. Pasal 15 secara eksplisit menyebutkan “mengupayakan penyelesaian sengketa pers.” Frasa “mengupayakan penyelesaian” mengimplikasikan peran fasilitatif, mendorong dialog dan kompromi antara pihak yang bersengketa.
Namun, dalam praktiknya, Dewan Pers seringkali mengeluarkan pernyataan atau rekomendasi yang terasa seperti “vonis” etik, lengkap dengan konsekuensi moral dan reputasi bagi media atau jurnalis yang bersangkutan.
Meskipun Kode Etik Jurnalistik adalah panduan penting, penafsiran dan penegakannya seharusnya tidak menjelma menjadi mekanisme penghakiman formal di luar koridor hukum yang berlaku.
Ketika Dewan Pers memberikan “sanksi” berupa pernyataan publik yang cenderung menghakimi, hal ini berpotensi melampaui mandatnya sebagai mediator dan dapat menimbulkan efek chilling bagi kebebasan berekspresi. Media dan jurnalis bisa menjadi lebih berhati-hati (bahkan self-censorship) karena takut akan “vonis” etik dari Dewan Pers, meskipun secara hukum tidak terbukti bersalah.
Kedua adalah adanya ancaman tersembunyi di balik “Peningkatan Kualitas” yang berpotensi intervensi isi pemberitaan. Fungsi mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas kewartawanan adalah cita-cita luhur. Namun, implementasinya melalui penafsiran dan penegakan Kode Etik Jurnalistik menyimpan potensi bahaya intervensi terhadap independensi redaksi.
Standar etika memang krusial, tetapi interpretasi yang terlalu sempit atau digunakan secara subjektif dapat menjadi alat untuk menekan pemberitaan yang kritis atau tidak sesuai dengan kepentingan pihak tertentu.
Dewan Pers harus sangat berhati-hati dalam menafsirkan Kode Etik agar tidak terjebak dalam menilai kebenaran atau kelayakan suatu berita, yang merupakan ranah independensi redaksi. Fokus seharusnya lebih pada proses jurnalistik yang etis, seperti verifikasi fakta, keberimbangan, dan penghormatan terhadap privasi, bukan pada substansi opini atau sudut pandang yang diangkat.
Ketika interpretasi Kode Etik digunakan untuk mendikte “layak” atau “tidak layak”nya suatu berita, hal ini berpotensi melanggar amanat Pasal 15 untuk “melindungi kemerdekaan pers dari segala campur tangan.”
Ketiga adalah Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Salah satu tindakan Dewan Pers yang paling kontroversial adalah penyelenggaraan Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Secara permukaan, UKW bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan standar kompetensi jurnalis. Namun, dalam praktiknya, muncul berbagai kritik yang perlu dipertimbangkan secara serius.
Penyelenggaraan UKW yang terpusat dan terstandarisasi berpotensi menciptakan monopoli dan eksklusivitas dalam profesi jurnalis. Wartawan yang tidak lulus UKW, terutama mereka yang bekerja di media kecil atau independen, dapat terpinggirkan atau dianggap “tidak kompeten,” meskipun memiliki pengalaman dan integritas jurnalistik yang baik. Hal ini bertentangan dengan semangat inklusivitas dan keberagaman dalam dunia pers.
Materi UKW seringkali dikritik karena terlalu fokus pada aspek teknis penulisan berita dan kurang menekankan pada pemahaman mendalam tentang isu-isu sosial, politik, dan ekonomi, serta etika jurnalistik yang substansial.
Kompetensi seorang jurnalis tidak hanya diukur dari kemampuannya menulis berita sesuai format, tetapi juga dari pemahaman konteks, kemampuan analisis kritis, dan keberanian mengangkat isu-isu penting.
Biaya penyelenggaraan UKW yang tidak murah dapat menjadi hambatan bagi jurnalis dari media kecil atau mereka yang bekerja secara freelance. Aksesibilitas UKW juga menjadi masalah di daerah-daerah terpencil, sehingga menciptakan ketidaksetaraan dalam pengembangan kompetensi.
Kekhawatiran juga muncul bahwa UKW dapat menjadi alat kontrol terhadap jurnalis. Standarisasi kompetensi yang terlalu ketat dan subjektif berpotensi digunakan untuk menyingkirkan jurnalis yang kritis atau tidak sejalan dengan kepentingan tertentu.
Sebagian kalangan mempertanyakan dasar hukum Dewan Pers dalam mewajibkan atau mensyaratkan UKW sebagai satu-satunya tolok ukur kompetensi wartawan. Apakah kewenangan ini termasuk dalam “menyusun peraturan mengenai pelaksanaan Undang-undang ini” atau justru merupakan penambahan persyaratan yang tidak diamanatkan oleh UU Pers?.
Keempat adalah tindakan Dewan Pers dalam melakukan verifikasi perusahaan pers. Meskipun tujuannya untuk memastikan akuntabilitas dan profesionalisme media, proses verifikasi yang tidak transparan dan kriterianya yang kurang jelas dapat menimbulkan potensi diskriminasi terhadap media-media kecil atau independen.
Apakah verifikasi ini benar-benar meningkatkan kualitas jurnalisme secara substansial, atau justru menciptakan hierarki dan membatasi ruang gerak bagi media alternatif yang mungkin memiliki keterbatasan sumber daya namun tetap menjalankan fungsi pers dengan baik?.
Dewan Pers perlu menjelaskan secara lebih komprehensif dasar hukum dan tujuan verifikasi ini agar tidak menimbulkan persepsi bahwa mereka bertindak melampaui mandat UU Pers.
Kelima, sebagai lembaga publik yang dibentuk oleh undang-undang, transparansi dan akuntabilitas adalah prasyarat mutlak bagi Dewan Pers. Kurangnya keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan, penggunaan anggaran, dan penanganan pengaduan dapat menggerogoti kepercayaan publik terhadap lembaga ini.
Publik dan insan pers berhak mengetahui bagaimana Dewan Pers menjalankan mandatnya. Keterbukaan informasi akan meningkatkan legitimasi dan memastikan bahwa setiap tindakan Dewan Pers dapat dipertanggungjawabkan.
Keenam, Dewan Pers mempunyai mandat utama “melindungi kemerdekaan pers dari segala campur tangan.” Kritik muncul ketika Dewan Pers dinilai kurang proaktif dan tegas dalam merespons berbagai ancaman terhadap kebebasan pers, baik berupa intimidasi, kekerasan terhadap jurnalis, maupun upaya pembungkaman dari berbagai pihak.
Ketidakmampuan atau keengganan Dewan Pers untuk bersikap tegas terhadap pelanggaran kebebasan pers dapat dianggap sebagai pengabaian terhadap amanat Pasal 15. Dewan Pers seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela kebebasan pers, bukan sekadar menjadi mediator pasif setelah insiden terjadi.
Menuju Dewan Pers yang Lebih Amanah.
Tulisan ini bukan bertujuan untuk menafikan peran penting Dewan Pers, melainkan sebagai panggilan untuk refleksi dan perbaikan agar Dewan Pers dapat menjalankan fungsinya secara optimal sesuai dengan amanat UU Pers.
Ada langkah mendesak perlu diimplementasikan dalam hal ini, antara lain Dewan Pers perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap setiap tindakan dan kebijakannya, termasuk UKW dan verifikasi perusahaan pers, untuk memastikan keselarasan dengan semangat dan pasal-pasal dalam UU Pers, khususnya Pasal 15.
Penguatan dialog dan partisipasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pers dalam setiap pengambilan keputusan penting akan meningkatkan legitimasi dan akuntabilitas Dewan Pers. Suara dari berbagai organisasi jurnalis, media kecil, dan akademisi perlu didengar dan dipertimbangkan.
Dewan Pers harus membuka akses informasi seluas-luasnya terkait proses pengambilan keputusan, penggunaan anggaran, dan penanganan pengaduan. Laporan kinerja yang transparan dan akuntabel harus menjadi prioritas.
Dewan Pers perlu memprioritaskan fungsi-fungsi utamanya yakni melindungi kemerdekaan pers dari segala bentuk ancaman dan campur tangan, mengembangkan kualitas jurnalisme melalui cara-cara yang inklusif dan tidak diskriminatif, serta memfasilitasi penyelesaian sengketa pers secara adil dan efektif.
Terkait kewenangan-kewenangan baru seperti UKW dan verifikasi, Dewan Pers perlu memberikan penjelasan yang lebih komprehensif mengenai dasar hukum, tujuan, mekanisme pelaksanaan, serta dampaknya terhadap ekosistem pers secara keseluruhan. Dasar hukum setiap tindakan harus jelas dan tidak menimbulkan keraguan.
Dewan Pers harus lebih proaktif dan tegas dalam merespons setiap ancaman terhadap kebebasan pers. Pernyataan sikap yang kuat dan tindakan nyata untuk melindungi jurnalis dan media yang terancam sangat dibutuhkan.
Sebagai pilar keempat demokrasi, pers yang bebas dan berkualitas adalah fondasi masyarakat yang sehat. Dewan Pers memiliki peran sentral dalam mewujudkan cita-cita ini. Namun, kredibilitas dan efektivitasnya sangat bergantung pada kemampuannya untuk bertindak sesuai dengan mandat UU Pers dan menghindari tindakan-tindakan yang justru berpotensi mengekang kebebasan pers itu sendiri.
Pengawalan dan kritik konstruktif dari seluruh elemen masyarakat pers adalah keniscayaan demi terwujudnya Dewan Pers yang benar-benar amanah.
Surabaya, 19 April 2025
Dedik Sugianto
Ketua Wakomindo
Reportase Media Ronggolawe News
Mengabarkan