Oleh Redaksi Ronggolawe News
Tuban — Pemerintah kembali mengumandangkan kabar manis: penghapusan tunggakan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta tertentu. Namun di balik euforia pengumuman itu, suara dari bawah terdengar berbeda—data tidak sinkron, penerima tidak jelas, dan ketimpangan lapangan kian nyata.
Dalam keterangan resmi, pemerintah menyebut kebijakan ini akan menyasar peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), serta kelompok Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang kini ditanggung oleh pemerintah daerah.
Kriteria penerima manfaat diklaim berbasis Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) — data yang digadang-gadang sebagai fondasi keadilan sosial.
Namun fakta di lapangan menunjukkan potret yang tak semulus wacana. Sejumlah warga di berbagai daerah, termasuk di Tuban dan Bojonegoro, mengaku tak pernah diverifikasi padahal telah bertahun-tahun menunggak akibat kehilangan pekerjaan pascapandemi.
Sebagian lain bahkan sudah pindah status ke PBI, tetapi tunggakan lama tetap tercatat aktif dalam sistem BPJS.
“Katanya dihapus, tapi pas dicek ke kantor BPJS, tagihan masih nongol. Kalau begini, pemutihan itu cuma di berita, bukan di layar komputer BPJS,” keluh Sukarti, warga Kecamatan Soko, Tuban, saat ditemui tim Ronggolawe News, Selasa (4/11/2025).
Janji Pemutihan Rp10 Triliun, Realisasi Masih di Awan
Pemerintah menyiapkan anggaran Rp20 triliun dalam APBN 2026 untuk menutup tunggakan peserta yang memenuhi kriteria.
Namun hingga kini, program tersebut masih dalam tahap finalisasi dan menunggu keputusan resmi Presiden serta Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat.
Kabar pemutihan memang menggembirakan, tetapi tanpa kejelasan mekanisme data dan verifikasi, kebijakan ini bisa berubah menjadi sekadar jargon politik menjelang tahun fiskal baru.
Bahkan sejumlah kepala daerah mengaku belum menerima surat resmi atau pedoman teknis dari pusat tentang tata cara validasi peserta.
“Kalau datanya pakai sistem lama, banyak warga miskin tidak akan masuk. Ada yang sudah meninggal, tapi masih tercatat aktif. Ada yang benar-benar tidak mampu, malah tidak terdaftar sama sekali,” ungkap seorang pejabat Dinas Sosial Tuban yang enggan disebut namanya.
Masalah Klasik: Data Tidak Satu Suara
Kelemahan mendasar ada pada integrasi data antara BPJS Kesehatan, Dinas Sosial, dan Kementerian Dalam Negeri.
Perbedaan sistem dan basis data membuat ribuan nama ganda, salah kategori, atau bahkan “menghilang” dari sistem bantuan sosial.
Padahal, penghapusan tunggakan ini mensyaratkan verifikasi berbasis DTSEN — sistem yang masih dalam tahap penyempurnaan.
Jika data yang digunakan belum bersih, maka pelaksanaan kebijakan akan menimbulkan ketimpangan baru: yang mampu bisa bebas utang, sementara yang benar-benar miskin tetap terjerat tagihan.
Ronggolawe News Catatan Kritis:
Kebijakan pemutihan tunggakan iuran BPJS Kesehatan bisa menjadi langkah sosial bersejarah, jika eksekusi di lapangan berjalan jujur dan transparan.
Namun jika tidak disertai pembenahan data dan pengawasan publik, program ini berisiko menjadi panggung pencitraan—bukan solusi kemanusiaan.
Rakyat menunggu bukan sekadar pengumuman, tapi bukti konkret di sistem data dan layar rekening mereka.
Redaksi Ronggolawe News
“Menyuarakan yang Tak Didengar, Menulis yang Tak Terucap.”






























