Banyuwangi, Ronggolawe News — Di bawah langit sore yang berwarna keemasan, ribuan penari Gandrung menari serempak di bibir Pantai Marina Boom Banyuwangi, Sabtu (25/10/2025). Hamparan pasir menjadi panggung alam, sementara selendang merah keemasan berayun lincah di tangan para penari, melambai seirama dengan iringan gamelan yang menggema. Tahun ini, Festival Gandrung Sewu 2025 mengusung tema “Selendang Sang Gandrung”, menghadirkan keindahan dan filosofi mendalam tentang cinta, kelembutan, dan semangat menjaga warisan leluhur.

Gandrung Sewu selalu menjadi magnet budaya yang luar biasa. Sejak pertama kali digelar lebih dari satu dekade lalu, festival ini telah menjadi ikon Banyuwangi sekaligus wajah keramahan masyarakat Blambangan. Namun tahun ini terasa berbeda. Tema “Selendang Sang Gandrung” membawa makna simbolik yang kuat — selendang bukan sekadar properti tari, melainkan simbol kasih sayang, doa, dan keterikatan antara manusia dengan budayanya.
“Selendang bagi penari Gandrung adalah jembatan antara rasa dan gerak. Ia menghubungkan penari dengan penonton, sekaligus menjadi lambang penghormatan kepada leluhur,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Muhammad Ali Rahman, saat membuka acara.

Sebabyak 1.300 penari dari berbagai sekolah, sanggar, dan komunitas seni di seluruh Banyuwangi tampil memukau. Mereka berlatih selama berbulan-bulan untuk menampilkan gerak yang padu, mulai dari gerak lembut pembuka hingga hentakan dinamis di akhir pertunjukan. Kostum mereka yang didominasi warna merah, emas, dan hitam menampilkan perpaduan elegan antara tradisi dan modernitas.
Musik gamelan mengalun lembut, sesekali diselingi suara biola khas Gandrung yang mendayu. Dari kejauhan, bunyi debur ombak seolah turut menjadi bagian dari orkestra alam. Penonton pun terpukau, menyaksikan ribuan tubuh bergerak seirama, seperti ombak yang menari di bawah langit senja.
Lebih dari sekadar tontonan, Gandrung Sewu 2025 juga menjadi ruang edukasi budaya. Banyak generasi muda yang ikut tampil, belajar memahami makna di balik setiap gerak Gandrung — tarian yang dulunya menjadi bentuk penghormatan kepada Dewi Sri, lambang kesuburan dan kehidupan. Kini, Gandrung menjadi simbol cinta dan keramahan Banyuwangi kepada siapa pun yang datang.

“Saya bangga bisa ikut menari di Gandrung Sewu. Ini bukan hanya tentang menari, tapi tentang menjaga budaya kita agar tetap hidup,” tutur Rahayu (16), siswi SMA asal Srono, sambil menggenggam selendangnya yang masih basah oleh keringat.
Selain pertunjukan utama, festival ini juga menampilkan pawai budaya, bazar UMKM, dan panggung musik etnik Banyuwangi. Ribuan wisatawan lokal maupun mancanegara memenuhi area Pantai Boom sejak pagi. Hotel-hotel di sekitar kota bahkan melaporkan tingkat hunian mencapai hampir seratus persen.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani dalam sambutannya menyebut bahwa Gandrung Sewu bukan sekadar agenda tahunan, tetapi telah menjadi kebanggaan dan perekat identitas daerah.

“Melalui selendang, kita diajak memahami bahwa budaya bukan benda mati. Ia hidup di tangan-tangan muda yang terus menari dan mencintai tanah ini,” ujarnya.
Ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, ribuan penari melambaikan selendang mereka ke udara — simbol perpisahan sekaligus harapan. Langit jingga, debur ombak, dan gemuruh tepuk tangan menjadi saksi bagaimana Banyuwangi kembali meneguhkan dirinya sebagai Kota Festival dan Gerbang Budaya Timur Jawa.
Festival Gandrung Sewu 2025 tak hanya menampilkan tarian, tetapi juga pesan mendalam: bahwa selama selendang masih berayun, semangat cinta dan budaya akan terus hidup di hati masyarakat Banyuwangi. (Ifs) Foto: Ivu Fajar Ronggolawe News





























