Surabaya, Ronggolawe News — Penyidikan dugaan korupsi di tubuh PT Delta Artha Bahari Nusantara (DABN) kian menyingkap lapisan kebijakan lama di Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tidak hanya memeriksa aktor teknis, tetapi mulai menelusuri akar pengambilan keputusan yang membuka jalan penugasan perusahaan bermasalah sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP).
Terbaru, penyidik pidana khusus Kejati Jatim telah memeriksa dua figur kunci Dinas Perhubungan Jatim: mantan Kadishub Wahid Wahyudi dan Kadishub aktif Nyono. Pemeriksaan ini menegaskan bahwa perkara DABN bukan sekadar soal administrasi, melainkan menyangkut rekayasa kebijakan dan potensi penyalahgunaan kewenangan.
Asisten Pidana Khusus Kejati Jatim, Wagiyo, menegaskan bahwa Wahid Wahyudi merupakan pihak yang mengusulkan penugasan DABN ketika masih menjabat Kadishub. Dari titik inilah penyidik membedah kronologi pengusulan hingga penetapan DABN sebagai BUP di Pelabuhan Probolinggo.
“Yang bersangkutan sudah diperiksa. Kepala Dishub yang sekarang juga sudah dimintai keterangan,” ujar Wagiyo, Senin (15/12/2025).
Namun fakta yang lebih krusial terungkap: pengusulan itu disebut-sebut merupakan tindak lanjut arahan Gubernur Jatim saat itu, Soekarwo. Meski demikian, Kejati Jatim menyatakan belum memeriksa Soekarwo karena belum ditemukan keterangan saksi yang secara langsung mengarah ke sana.
Pernyataan ini menyisakan tanda tanya besar di ruang publik. Sebab, dalam konstruksi kebijakan strategis, sulit membayangkan penugasan pengelolaan pelabuhan bernilai ratusan miliar rupiah berjalan tanpa restu politik tingkat tertinggi.
Kejati Jatim menegaskan penyidikan masih bersifat umum, namun arah perkara semakin terang. Penyidik telah menyita dokumen, memblokir sejumlah rekening, memeriksa saksi dan ahli, serta menunggu hasil penghitungan kerugian negara dari BPKP.
Di balik proses hukum itu, konstruksi dugaan pelanggaran tampak sistematis. PT DABN, yang bukan BUMD dan belum memenuhi syarat sebagai pemilik izin BUP, justru “dipoles” melalui surat gubernur kepada Dirjen Perhubungan Laut pada 10 Agustus 2015, seolah-olah sah sebagai BUMD.
Masalah kian serius ketika Pemprov Jatim menerbitkan Perda Nomor 10 Tahun 2016 yang menyertakan aset daerah senilai Rp253,6 miliar kepada PT PJU, lalu diteruskan ke PT DABN. Skema ini dinilai bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, yang secara tegas membatasi penyertaan modal daerah hanya kepada BUMD.
Ironisnya, konsesi pengelolaan pelabuhan ditandatangani pada 21 Desember 2017, saat PT DABN belum memiliki aset sama sekali. Penyerahan aset baru dilakukan hampir empat tahun kemudian, pada 9 Agustus 2021, sebuah fakta yang bertabrakan langsung dengan PP Nomor 64 Tahun 2015.
Kejati Jatim menegaskan tidak akan tergesa menetapkan tersangka. Namun publik membaca arah angin perkara ini jelas: yang dipersoalkan bukan hanya siapa menjalankan, tetapi siapa merancang dan mengizinkan.
Kasus DABN kini menjadi ujian serius bagi komitmen penegakan hukum di Jawa Timur. Apakah penyidikan akan berhenti di level birokrasi teknis, atau berani menembus lingkar kebijakan politik yang melahirkannya—waktu dan keberanian aparat penegak hukum yang akan menjawab.






























