Ronggolawe News – Di sore hari permukaan tambak di Desa Cemandi, Sedati, Sidoarjo terlihat berkilauan, petani garam bergegas memanen garam yang nampak seperti serpihan kaca yang ditabur matahari. Udara asin menyapa tajam, tapi bagi para petambak di sini, itulah aroma harapan. Di atas hamparan petak-petak tambak, deretan meja garam terlihat rapi, menjadi saksi perubahan besar yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir—perubahan yang perlahan mengantarkan Cemandi menuju mimpi swasembada garam lokal.

“Dulu, kalau cuaca begini, kami masih cemas,” ujar Solikin (33), petambak garam muda asal Sampang Madura . “Air naik sedikit, angin berubah, hilang sudah hasil semusim. Sekarang, dengan teknologi geomembran, kami bisa produksi lebih stabil.”
Program penguatan produksi garam rakyat yang masuk ke Cemandi sejak 2022 menjadi pintu awal transformasi itu. Petambak mulai meninggalkan pola lama yang mengandalkan tanah tambak apa adanya, berganti menggunakan alas geomembran, pompa air listrik, hingga gudang penyimpanan yang lebih layak. Hasilnya bukan sekadar peningkatan produksi—melainkan pergeseran cara berpikir.
Dalam semusim empat bulan, Solikin yang juga di bantu sang istri kini mampu menghasilkan lebih dari 120 ton garam kristal, meningkat hampir dua kali lipat dari produksi konvensional yang dulu berkisar 60–70 ton. Kualitasnya pun lebih terjaga: garam berbutir besar, jernih, dan lebih mudah masuk pasar industri.
“Kalau dulu kami hanya mengandalkan pemandangan langit. Sekarang kami mengandalkan manajemen,” tambahnya sambil tersenyum, sembari menggerakkan garukan garam di atas membran.

Fenomena serupa terjadi di banyak tambak Cemandi. Para petambak kini lebih terhubung dengan koperasi, memiliki akses pembiayaan yang lebih jelas, dan pelatihan tentang cara membangun efisiensi produksi. Dengan begitu, mereka tidak hanya mengejar hasil panen, tetapi juga kestabilan harga dan keberlanjutan usaha.
Di sisi lain, pemerintah desa ikut bergerak. Kepala Desa Cemandi, melalui forum petambak, mendorong pembentukan sentra garam lokal. “Kami ingin garam Cemandi menjadi identitas, bukan sekadar komoditas,” ujar salah satu perangkat desa. Rencana itu mencakup branding garam, fasilitas pengemasan, hingga jalur distribusi yang memungkinkan petambak menjual langsung ke pasar hotel dan UMKM kuliner.

Matahari mulai condong di ufuk barat di langit Sedati. Di tepi tambak, suara gesekan garpu garam terdengar teratur—ritme yang memadukan tradisi lama dengan harapan baru. Di balik kristal-kristal putih itu, Cemandi sedang membangun masa depan: sebuah desa pesisir yang tidak sekadar bertahan, tetapi bangkit menuju swasembada.
Di tengah gempuran garam impor, suara petambak Cemandi terdengar lantang:
“Kami bisa menghasilkan garam sendiri, dan kami bangga.” Foto: Ivu Fajar (Ronggolawe News)





























