Oleh: Anto Sutanto
Tuban, Ronggolawe News – Feature
Malam itu, langit Tuban tak terlalu gelap. Bulan separuh menggantung di atas sawah, menerangi jalan-jalan tanah yang mengarah ke sebuah gardu tua di sudut dusun. Dari kejauhan terdengar suara sorak-sorai bercampur umpatan. Di sanalah, sebuah dunia lain dimulai — dunia tempat nasib dipertaruhkan lewat guliran dadu dan dentuman bola glundungan.
Lapak Tak Bernama
Lokasi Desa itu telah berubah fungsi. Bukan lagi tempat nongkrong anak atau rembug warga. Kini, tiap ada Sedekah bumi pasti ada perjudian, Desa desa yang mempunyai hajat Sedekah bumi sudah dipastikan ia menjelma menjadi arena judi plaseran dan glundungan. Alasnya tikar usang, lampunya remang-remang. Namun semangat para penjudi tampak membara, seolah itulah titik terang kehidupan mereka.
Pak Timin (bukan nama sebenarnya), 52 tahun, duduk bersila sambil menggenggam lembaran uang lusuh. Dahinya berkerut, matanya menatap dadu yang hendak dilempar. Ia seorang petani, dengan empat anak, dan ladang yang tak seberapa luas. Namun baginya, malam ini adalah peluang untuk ‘mengubah nasib’.
“Aku cuma berharap malam ini pulang bawa lebih dari Rp.500 ribu. Anak bungsuku butuh uang sekolah,” katanya lirih, sambil menahan degup jantung saat dadu digulirkan.
Kisah yang Berulang
Pak Timin bukan satu-satunya. Di sisi lain lapak, ada pemuda-pemuda usia belasan, bahkan bocah SD yang menonton sambil tertawa-tawa. Bagi mereka, dunia judi ini bukan hal asing — mereka tumbuh bersama cerita ayah-ayah mereka yang berjudi, kalah, dan kadang menang lalu kembali kalah lagi.
Sri Wahyuni, 41 tahun, istri seorang penjudi aktif, menangis saat ditemui Tim Media Ronggolawe News. “Dulu suami saya jual kambing demi beli pupuk. Sekarang kambing habis, sawah digadaikan. Semua demi plaseran,” ujarnya sambil mengusap air mata dengan sudut jilbabnya.
Sri Wahyuni bercerita jika suaminya Sekarang gila judi bukan hanya di desanya saja. Karena menurut keterangan kenalan suaminya judi itu terorganisir dan bisa dipastikan selalu ada selama tidak turun hujan.
“Suamiku selalu diberi informasi di desa mana arena judi digelar karena selalu bertepatan dengan acara Sedekah bumi
Baginya, judi bukan sekadar permainan — tapi luka yang membusuk perlahan-lahan. Anak-anaknya kini takut pulang sekolah, karena sering dimarahi ayah mereka yang pulang kalah dan mabuk. “Kadang saya kepikiran kabur saja. Tapi ke mana?,” ujarnya lirih.
Tradisi yang Salah Arah
Plaseran dan glundungan memang bukan barang baru di desa. Sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan sering muncul di acara pasar malam atau pesta hajatan. Namun dulunya masih terbatas, tidak seintens sekarang. Kini, bahkan ada ‘bandar keliling’, yang mengorganisasi permainan dan menjanjikan hadiah besar.
“Kalau dulu cuma untuk hiburan, sekarang jadi sumber penghasilan dan pelarian dari kemiskinan,” ujar Mbah Karno, tokoh sepuh desa yang mengaku prihatin.
Ia mengibaratkan judi seperti api kecil di ladang kering. “Awalnya hangat, lama-lama membakar semua. Rumah tangga, ladang, bahkan iman,” tambahnya.
Pembiaran yang Meresahkan
Mirisnya, aparat desa hingga pihak keamanan seperti membiarkan atau berpura-pura tak tahu. Ada yang berdalih, “Itu cuma hiburan rakyat,” atau “Asal tidak mengganggu, ya dibiarkan.” Namun kenyataannya, keresahan justru makin meluas.
“Kalau sudah kalah banyak, ada yang jual motor, ngutang ke rentenir. Anak-anak ikut kena, karena suasana rumah jadi neraka,” ujar Bu Umi, relawan pendamping keluarga miskin.
Harapan yang Nyaris Padam
Di tengah keputusasaan, segelintir warga mencoba bangkit. Ada yang membentuk kelompok diskusi warga anti-judi. Ada juga pemuda yang mulai mengalihkan perhatian ke kegiatan produktif seperti beternak, bertani organik, atau berkesenian.
Namun perjuangan itu berat. Judi lebih menggoda karena instan. Harapan terasa jauh, sementara plaseran menjanjikan hasil malam ini juga — walau hanya mimpi semu.
“Yang kita lawan bukan cuma dadu atau bola glundungan, tapi sistem kemiskinan dan ketidakpedulian,” kata Yayan, pemuda desa yang kini aktif dalam program Pemuda Tangguh Tanpa Judi.
“Akan kami buat laporan secara resmi ke pihak kepolisian, bila perlu juga ke pusat, meskipun kami tau juga ada oknum-oknum yang terlibat secara tidak langsung dengan pengamanan yang tidak resmi, tetapi kami tidak takut dan gentar,” ungkapnya tegas.
Penutup
Plaseran dan glundungan bukan hanya soal permainan. Ia adalah wajah nyata dari kesenjangan, kemiskinan, dan minimnya pengawasan sosial. Selama tidak ada edukasi dan penegakan hukum yang tegas, praktik ini akan terus menelan korban — dalam sunyi, di balik tikar tua dan sorak-sorai palsu.
Dan malam-malam seperti ini akan terus terulang, hingga suatu hari seseorang benar-benar berani mengganti dadu itu dengan harapan yang nyata.
Reporter: Anto Sutanto – Ronggolawe News
Email: redaksi@ronggolawe-news.com
Reportase Media Ronggolawe News
Mengabarkan