Liputan Budaya Religi oleh Anto Sutanto
Media Ronggolawe News
Juli 2025.
Tuban, Ronggolawe News– Laut utara Jawa, di suatu senja penuh keheningan, menjadi saksi kisah spiritual yang tak lekang oleh waktu. Di sana, perahu yang membawa jenazah Sunan Bonang, salah satu tokoh agung Wali Songo, tiba-tiba berhenti di tengah perairan Tuban. Bukan karena gelombang, bukan pula karena angin yang menentang. Perahu itu diam, seolah menunggu sesuatu. Atau… menolak sesuatu?
Dari Lasem ke Madura, Tapi Hati Kembali ke Tuban
Sunan Bonang wafat di Lasem, sebuah kota tua yang menjadi pelabuhan keilmuan dan dakwah para wali. Saat wafatnya, para murid yang berasal dari berbagai daerah sepakat untuk membawa jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Namun di sinilah pertentangan muncul.
Para murid dari Madura ingin membawanya ke pulau mereka. “Di sana, beliau akan kami makamkan di tanah para santri,” ucap seorang murid dalam kisah tutur masyarakat. Sementara para murid dari Tuban menginginkan jenazah dimakamkan di tanah kelahirannya sendiri.
Perdebatan tak kunjung selesai, tapi perahu tetap melaju. Hingga sampailah ia di tengah laut Tuban (ada kisah bahwa perahu yang membawa jenazah Sunan Bonang berhenti tepat di Utara pantai Boom — yang dahulu dikenal dengan nama pelabuhan Kambang Putih – red) dan di sanalah perahu itu berhenti. Terdiam.
“Seperti ada yang menahan dari bawah,” kata para nelayan yang mendengar kisah ini turun-temurun.
Mereka mencoba mendorong, mendayung, membentangkan layar—namun sia-sia. Hingga akhirnya, seorang murid dari Tuban mengucap dalam doa:
“Wahai Guru, bila memang engkau ingin kembali ke tanah kelahiranmu, kami siap.”
Dan ajaib—perahu pun kembali bergerak. Namun bukan ke arah Madura, melainkan berputar perlahan menuju pesisir Tuban. Diam-diam, alam menyampaikan pesan: bahwa Sunan Bonang memilih kembali pulang.
Makam, Bukan Sekadar Nisan
Hari ini, makam Sunan Bonang terletak di jantung kota Tuban, hanya beberapa langkah dari Masjid Agung dan alun-alun. Tempat ini bukan hanya menjadi situs ziarah, tapi juga ruang batin masyarakat yang mencari ketenangan dan berkah.
Setiap hari, ratusan hingga ribuan orang datang membawa harapan, doa, dan syukur. Mereka menyentuh batu nisan, membaca doa di bawah pepohonan tua, dan duduk merenung dalam suasana yang hening dalam aula makam wali songo itu.
Suluk, Gamelan, dan Dakwah Budaya
Tak hanya dikenal karena karomahnya, Sunan Bonang adalah wali yang menyampaikan Islam lewat seni dan budaya. Ia memainkan gamelan, menciptakan suluk, menyusun tembang-tembang spiritual yang hingga kini masih dipakai dalam pengajian-pengajian tradisional.
Tembang “Tombo Ati”, salah satu suluk paling populer, diyakini merupakan warisan beliau—tembang yang tidak hanya merdu, tapi menyembuhkan.
Tuban: Kota Wali yang Tak Pernah Sepi
Bagi masyarakat Tuban, kisah Sunan Bonang bukan sekadar sejarah, tapi identitas spiritual. Ziarah ke makam beliau bukan sekadar ritual, tapi juga bentuk perenungan tentang arah hidup. Dan kisah perahu yang tak mau bergerak itu, hingga kini menjadi pelajaran tentang ikhlas, niat, dan kehendak langit.
Seorang peziarah pernah berkata:
“Kami tidak datang hanya untuk meminta, tapi juga untuk belajar: bagaimana cinta seorang wali pada tanah kelahirannya lebih kuat dari segalanya.”
INFO TAMBAHAN UNTUK ZIARAH:
Lokasi: Komplek Makam Sunan Bonang, Belakang Masjid Agung Tuban)
Waktu Ramai: Malam Jumat, Hari besar Islam.
Khusus Haul Mbah Sunan Bonang yaitu di Bulan Muharram/ Bulan Suro (Kamis Pon malam Jumat Wage) yang pada tahun ini Haul ke-516 Syeikh Maulana Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang, jatuh pada tanggal 14-15 Muharram 1447 H /10-11 Juli 2025 M.
Fasilitas: Area ziarah, Masjid, pusat oleh-oleh religi, pemandu lokal
Akses: Sekitar 1 km dari Terminal wisata Kebonsari Tuban, mudah dijangkau kendaraan umum dan transportasi becak.
CATATAN REDAKSI:
Liputan ini merupakan bagian dari serial “Jelajah Spiritual Nusantara” Media Ronggolawe News, yang mengangkat kisah-kisah suci dari tanah Jawa dalam sudut pandang budaya, keislaman, dan sejarah lokal
Penutup Puisi Spiritual oleh Anto Sutanto
“Saat Tuban Menjadi Kiblat”
Kini, debur ombak menyebut namamu,
Wahai Maulana Ibrahim, Sunan Bonang nan agung.
Makammu bukan sekadar batu nisan,
Tapi tapak cahaya bagi zaman.
Kau ajarkan kami bahwa dakwah tak perlu keras suara,
Cukup dengan tembang yang meresap di jiwa.
Bahwa Islam bukan untuk merusak budaya,
Melainkan menumbuhkan ruh dalam irama lama.
Maka, kami ziarahi engkau bukan karena tanah,
Tapi karena ruhmu masih hidup di antara kami.
Di Tuban,
Kami membaca sejarah tak hanya lewat buku,
Tapi lewat angin, ombak, dan sunyi laut yang dulu membawamu pulang.#Anto Sutanto
📖 Narasi Puitis : “Sunan Bonang: Sang Penabuh Gamelan Langit”
Di antara pelabuhan tua dan tembok kota Tuban,
berdiri sebuah makam dengan nisan putih pualam.
Di sanalah Sunan Bonang bersemayam—tidak mati,
hanya diam dalam cahaya.Ia bukan hanya penyebar agama,
tapi pemilik nada, pemahat jiwa dalam irama.
Dengan gamelan dan suluk,
ia datangi hati rakyat yang masih memuja dewa-dewa.Tapi kisahnya tak berhenti saat ia wafat di Lasem.
Justru saat jenazahnya mengarungi lautan,
perahu itu menolak menuju Madura.
Diam, tak bergerak, seolah bumi sendiri menolak.Hingga niat kami selaras dengan kehendaknya—
“Bawa aku pulang ke Tuban.”
Maka laut pun tenang, dan perahu melaju.
Guru kembali ke tanah kelahiran,
agar makamnya jadi pelabuhan doa,
bukan sekadar pusara.#Anto Sutanto
Reportase Media Ronggolawe News
Mengabarkan