Ponorogo, Ronggolawe News — Reog Ponorogo akhirnya resmi menjejak panggung tertinggi pengakuan dunia. UNESCO menetapkan kesenian legendaris ini sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia (Intangible Cultural Heritage/ICH) setelah proses panjang yang penuh diplomasi, verifikasi, dan perjuangan komunitas seni. Sertifikat resmi pengakuan tersebut telah diserahkan langsung kepada Plt Bupati Ponorogo, Lisdyarita, dalam seremoni di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Namun di balik momen penuh gegap-gempita itu, terselip sebuah pesan: pengakuan dunia bukan akhir, melainkan awal dari tanggung jawab besar.
Pengakuan Dunia, Tanggung Jawab Baru
Sertifikat ICH UNESCO kini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), menandai bahwa Reog Ponorogo telah diangkat menjadi artefak budaya global yang harus dijaga dalam standar-standar internasional.
Lisdyarita menegaskan, keberhasilan ini lahir bukan dari satu tangan, tetapi dari generasi seniman, pelestari, pengrawit, dan masyarakat Ponorogo yang setia merawat napas tradisi.
“Ini awal dari tanggung jawab yang jauh lebih besar,” ujar Lisdyarita.
“Kita harus mampu melestarikan, mengembangkan, dan memastikan manfaatnya kembali ke masyarakat.”
Ronggolawe News mencatat, pernyataan itu bukan sekadar retorika. Predikat ICH memaksa pemerintah daerah untuk menguatkan ekosistem budaya, memperbaiki tata kelola, dan menjawab tantangan globalisasi yang terus menggerus budaya lokal.
Tantangan 2026: Anggaran Kian Menyempit
Meski telah mendapat pengakuan dunia, Ponorogo justru menghadapi tantangan berat. Mulai 2026, Transfer Keuangan Daerah (TKD) dipangkas hingga Rp 261 miliar. Artinya, diplomasi budaya, festival internasional, hingga upaya promosi lintas negara akan berjalan dengan ruang fiskal terbatas.
Lisdyarita mengaku tidak ingin kondisi itu menjadi alasan berhenti bergerak.
“Tugas kita berkeliling luar negeri mengenalkan seni reog, tetapi anggarannya memang tidak banyak,” ujarnya.
Dengan kata lain, dunia menuntut Reog tampil lebih sering di panggung internasional, sementara anggaran justru semakin ketat. Situasi paradoks yang akan menjadi uji kemampuan Pemerintah Kabupaten Ponorogo.
Regenerasi: Melahirkan Penari, Pengrawit, dan Pembawa Tradisi Baru
Di tengah tantangan itu, langkah paling strategis yang dilakukan Pemkab adalah memperkuat regenerasi seni tradisi melalui muatan lokal (mulok) dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Anak-anak Ponorogo akan diperkenalkan mulai dari:
Teknik gerak Reog
Barongan & Jathilan
Musik pengiring
Filosofi tokoh-tokoh Reog
Nilai kepahlawanan dalam lakon-lakon Reog
“Dalam mengembangkan budaya, kita mulai bersama dari anak-anak sampai tua,” tegas Lisdyarita.
Ronggolawe News mencatat bahwa ini langkah krusial: tanpa generasi baru, status UNESCO tinggal menjadi plakat tanpa nyawa.
Agenda Besar Setelah Sertifikat UNESCO
Penetapan Reog sebagai Warisan Dunia bukan hanya soal kemegahan seremoni. Pemerintah daerah kini harus berfokus pada:
1. Penguatan Komunitas Reog
Mendukung sanggar, kelompok seni, pengrawit, dan kreator lokal.
2. Diplomasi Budaya Lintas Negara
Menjadikan Reog sebagai wajah Indonesia di pentas global, bukan sekadar tontonan festival daerah.
3. Peningkatan Kapasitas Seniman
Pelatihan, riset, dokumentasi budaya, hingga manajemen pertunjukan bertaraf internasional.
4. Penguatan Tata Kelola Warisan Budaya
Agar Reog tidak hanya bertahan, tetapi tumbuh sebagai praktik budaya yang hidup, relevan, dan berfungsi sosial.
—
Reog Kini Milik Dunia — Tapi Tetap Berpulang ke Tanah Kelahirannya
Dengan pengakuan UNESCO, Reog Ponorogo tidak lagi hanya milik warga Ponorogo. Kesenian ini kini menjadi milik seluruh umat manusia.
Namun perjalanan besarnya tetap dimulai dari bumi tempat ia lahir.
Lisdyarita kini memegang simbol bahwa dunia telah membuka pintu bagi Reog.
Dan melalui sertifikat itu, pesan kuat disampaikan: perjalanan Reog di panggung global baru saja dimulai.
Ronggolawe News — Independen, Kritis, Berkarakter.






























