OPINI
Oleh: Anto Sutanto
Pada hari pertama beliau dilantik, Presiden Prabowo Subianto tidak memilih kata-kata yang aman. Ia tidak menutupi luka bangsa. Justru beliau mengungkapkan realita paling pahit: bahwa masih banyak anak Indonesia berangkat sekolah tanpa sarapan, banyak keluarga hidup dalam kemiskinan, dan masih terlalu banyak warga negara yang bahkan tidak mampu sekadar memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Dari sanalah lahir gagasan Makan Bergizi Gratis (MBG)—bukan sebagai proyek populis, namun sebagai ikhtiar moral negara untuk memastikan bahwa tidak ada lagi anak Indonesia yang tidur dalam keadaan lapar. Gagasan itu bukan baru kemarin muncul, melainkan sudah lama tertuang dalam karya Prabowo Paradoks Indonesia dan Solusinya.
Presiden menyimpan pertanyaan yang mestinya menjadi tamparan bagi kita: mengapa negeri yang kaya ini tidak mampu menjamin rakyatnya cukup makan?
Itu pertanyaan fundamental—pertanyaan yang seharusnya menggugah seluruh pengambil keputusan agar MBG dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan kehormatan.
Namun setelah hampir sebelas bulan berjalan, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: paradoks itu justru terjadi di dalam program yang ingin menyelesaikan paradoks.
Kasus keracunan makanan, lemahnya pengawasan dapur MBG, sampai isu ketidakteraturan keuangan menjadi tanda bahwa ada yang tidak beres di titik-titik krusial pelaksanaan. Ada kesenjangan antara visi Presiden dan kenyataan di lapangan. Jika persoalan paling mendasar seperti keamanan pangan saja masih berulang gagal, maka ada masalah struktural yang tak bisa diabaikan.
Dan ironisnya, di tengah kebutuhan memperkuat sistem, publik justru disuguhi kontroversi baru yang sama sekali tidak perlu.
Ketika Ahli Gizi Disepelekan, Marwah MBG Dirusak dari Dalam
Pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, bahwa “MBG tidak perlu ahli gizi”—disertai nada arogan bahwa semua bisa diselesaikan “dengan palu”—bukan sekadar kekeliruan. Itu bentuk nyata ketidakpahaman terhadap makna MBG.
Program MBG berdiri di atas keilmuan. Berdiri di atas data, perhitungan nutrisi, standar menu, keamanan pangan, hingga evaluasi dampak. Ini bukan proyek bagi-bagi nasi bungkus.
Mendiskreditkan profesi ahli gizi sama saja merendahkan seluruh kerja panjang akademisi, tenaga kesehatan, teknokrat, dan para profesional yang menjadi fondasi kebijakan publik di bidang pangan dan gizi.
Klarifikasi dan permintaan maaf memang sudah disampaikan. Tetapi opini publik yang terlanjur terluka menunjukkan bahwa masalah sebenarnya jauh lebih dalam: program MBG masih dipandang oleh sebagian elit sebagai urusan teknis sederhana, sementara MBG sendiri adalah investasi negara yang bernilai ratusan triliun.
Ahli Gizi Bukan Pelengkap. Mereka Penjaga Mutu.
Dalam setiap piring makanan terdapat perhitungan:
berapa gram protein, berapa serat, berapa kalori, bagaimana keamanan pangan, bagaimana distribusi, bagaimana standar sanitasi—semuanya disusun dan diawasi oleh ahli gizi.
Mereka adalah “otak teknis” dari MBG.
Menghapus atau mengabaikan peran mereka sama saja dengan membiarkan kapal besar berlayar tanpa navigator. Bahkan lebih fatal: berisiko mencelakakan anak bangsa.
Bahaya Terbesar MBG Bukan Kekurangan Anggaran, Melainkan Kekacauan Tata Kelola
Program ini menggunakan anggaran raksasa. Uang negara dalam jumlah besar selalu mengundang godaan. Maka, bahaya terbesar bukanlah ketiadaan sumber daya, tetapi ketidaktegasan regulasi, lemahnya pengawasan, dan potensi bancakan pihak-pihak tertentu.
MBG tidak boleh menjadi proyek “ladang cuan”. Tidak boleh menjadi ajang pembagian kepentingan. Tidak boleh menjadi proyek asal serap anggaran.
Keberhasilan MBG hanya mungkin terjadi jika dijalankan berdasarkan keilmuan—bukan keinginan politik sesaat.
Presiden Sudah Menyulut Obor Besar. Jangan Biarkan Obor Itu Padam oleh Kesembronoan
Presiden Prabowo memulai kepemimpinannya dengan visi besar yang ingin menuntaskan paradoks bangsa. Namun visi sekuat apa pun bisa habis oleh pelaksanaan yang buruk.
BGN harus memperbaiki tata kelola. DPR harus mengawasi tanpa mencederai profesi. Pemerintah daerah harus memperkuat pengawasan dapur MBG. Dan publik harus tetap kritis agar program ini benar-benar menyentuh inti permasalahan: memastikan setiap anak Indonesia makan dengan layak.
MBG bukan proyek politik.
MBG adalah proyek peradaban.
Dan peradaban bangsa hanya bisa berdiri kuat jika dimulai dari satu hal: anak-anak yang cukup makan, sehat, dan siap menciptakan masa depan.






























