Jakarta, Ronggolawe News — Polemik pernyataan Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurizal tentang profesi ahli gizi kembali menyeret perhatian publik. Bukan hanya karena ia memotong pertanyaan peserta forum, tetapi karena sikapnya yang dianggap meremehkan profesi yang menjadi tulang punggung program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Namun setelah gelombang kritik tak terbendung—baik dari tenaga kesehatan, organisasi profesi, maupun masyarakat—Cucun akhirnya bersuara dan menyampaikan permohonan maaf. Meski begitu, rangkaian pembelaannya tetap menyisakan banyak tanda tanya.
Cucun Semprot Penanya, Publik Balik Menyemprot
Insiden bermula dari Forum Konsolidasi SPPG se-Kabupaten Bandung. Ketika seorang peserta dengan sopan meminta kejelasan penggunaan istilah ahli gizi di struktur SPPG, Cucun justru memotong dengan nada tinggi.
Potongan videonya viral:
“Saya nggak suka anak muda arogan… Tidak perlu ahli gizi. Cocok nggak? Nanti saya selesaikan di DPR.”
Pernyataan itu memantik kemarahan tenaga gizi di seluruh Indonesia. Profesi yang bekerja mengawal keamanan pangan anak-anak bangsa justru dianggap tak penting oleh wakil rakyat.
Setelah Viral — Maaf pun Meluncur, Namun…
Lewat akun Instagram resminya, Cucun akhirnya menyampaikan permohonan maaf. Ia menyebut dinamika forum mungkin menyinggung profesi ahli gizi dan dia tidak bermaksud merendahkan.
Namun dalam kalimat lanjutannya, Cucun justru menegaskan bahwa wacana penggantian istilah ahli gizi menjadi quality control atau pengawas makanan bergizi masih dalam pembahasan.
Pernyataan ini justru menegaskan satu hal:
wacana penggeseran otoritas ahli gizi memang sedang dibahas di internal DPR.
DPR dan BGN Sepakat Melibatkan Ahli Gizi — Setelah Polemik Membesar
Setelah kritik terus membeku di berbagai platform, Cucun bertemu Persagi dan Badan Gizi Nasional (BGN) di Senayan. Dalam pertemuan itu, DPR akhirnya menyetujui bahwa profesi ahli gizi tetap menjadi tulang punggung SPPG.
Ketika ditanya apakah ia meminta maaf secara langsung kepada Persagi, jawabannya samar:
“Saya sudah sampaikan lewat media sosial.”
Sikap ini memunculkan pertanyaan baru:
Apakah penyelesaian polemik profesi bisa dianggap tuntas hanya dengan permintaan maaf digital?
BGN Tegaskan Standar: Ahli Gizi Tetap Prioritas
Kepala BGN Dadan Hindayana menegaskan profesi yang menjadi tonggak utama Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG minimal bergelar sarjana. Namun, saat ini jumlah sarjana gizi belum mampu memenuhi kebutuhan ahli gizi program MBG.
“Prioritas pertama di tahap awal adalah sarjana gizi, tetapi kita tahu bahwa produksi sarjana gizi itu terbatas, sementara program ini terus berjalan. Jadi, ketika terjadi kelangkaan sarjana gizi, BGN harus mencari jalan keluar,” kata Dadan, Senin (17/11/2025).
Untuk mengatasi hal itu, Dadan menyebut sekarang BGN mencari lulusan yang bidangnya berkorelasi dengan pengetahuan gizi untuk mengisi kekosongan ahli gizi.
“Program ini dirancang dengan tidak menetapkan menu standar nasional. Oleh karena itu di setiap SPPG, harus ada orang yang paham tentang gizi. Kalau bukan sarjana gizi, misalnya sarjana kesehatan masyarakat, itu kan pasti ada pelajaran gizi di dalamnya. Teknologi pangan, itu kan ada pengetahuan gizi di dalamnya,” imbuhnya.
Menariknya, Kepala BGN Dadan Hindayana menegaskan hal yang sangat kontras dengan pernyataan awal Cucun. Menurutnya:
SPPG tetap harus diisi oleh sarjana gizi sebagai prioritas utama.
Jika terjadi kekurangan SDM, alternatifnya tetap harus yang memiliki dasar ilmu gizi—misalnya sarjana kesehatan masyarakat atau teknologi pangan.
Standar menu nasional MBG, pengawasan keamanan pangan, dan kualitas gizi tidak boleh diputuskan oleh tenaga tanpa kompetensi.
Dengan kata lain, BGN mengirim pesan halus:
Program gizi bukan tempat eksperimen, apalagi coba-coba pakai tenaga tanpa keahlian.
Benang Merah Polemik: Siapa yang Sebenarnya Menafsirkan Seenaknya?
Ronggolawe News mencatat setidaknya tiga persoalan besar dari polemik ini:
- Minimnya penghormatan terhadap profesi strategis
Alih-alih mendukung tenaga gizi, pernyataan Cucun justru mengesankan bahwa profesi ini bisa digantikan siapa saja.
- Wacana nomenklatur yang tidak matang
Wacana mengganti istilah “ahli gizi” menjadi “quality control” justru berpotensi menghilangkan standar kompetensi teknis.
- Ketidaksinkronan antara DPR dan BGN
Pernyataan Cucun dan Dadan Hindayana menunjukkan perbedaan persepsi yang mencolok mengenai SDM SPPG.
Pada Akhirnya…
Kritik publik sebenarnya bukan untuk menjatuhkan, melainkan mengingatkan:
Program sebesar MBG tidak boleh diurus oleh tenaga tanpa keahlian.
Anak-anak bangsa tidak boleh menjadi korban ego, salah tafsir jabatan, atau reduksi profesi demi alasan efisiensi.
Negara membutuhkan ahli, bukan sekadar tenaga yang ada.
Reportase Media Ronggolawe News
Mengabarkan Tanpa Takut, Menyuarakan Tanpa Tedeng Aling-Aling






























