OPINI TAJAM RONGGOLAWE NEWS
Oleh: Anto Sutanto
Pemimpin Redaksi Ronggolawe News
Tragedi di SDN Kalibaru 01 Pagi, Jakarta Utara, yang melibatkan mobil pengangkut menu Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali membuka satu fakta getir: tata kelola program publik sebesar MBG masih jauh dari kata matang. Tetapi yang harus digarisbawahi sejak awal—Ronggolawe News menilai bahwa setiap proses harus dibaca dengan kepala dingin. Tidak boleh ada vonis prematur. Tidak boleh ada penunjukan hidung tanpa dasar. Yang diperlukan adalah pembacaan objektif, mendalam, jernih, dan berbasis bukti.
Komisi IX DPR RI menyoroti lemahnya verifikasi dan pengawasan sopir pengganti dari SPPG. Kritik ini wajar. Namun kritik bukanlah vonis, melainkan alarm yang harus dijawab oleh sistem, bukan dilampiaskan kepada individu.
Justru Ronggolawe News melihat persoalannya lebih struktural.
SOP Lemah = Sistem Rapuh, Bukan Semata Kesalahan Sopir
Pernyataan Charles Honoris bahwa “sopir pengganti tidak melalui verifikasi yang layak” menunjukkan adanya lubang menganga dalam tata kelola distribusi MBG. Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi kegagalan memastikan bahwa keselamatan anak-anak di sekolah dilindungi melalui standar kerja yang ketat.
SOP yang ideal seharusnya hidup dan ditegakkan.
SOP yang saat ini berjalan tampak seperti dokumen administrasi yang hanya dipajang, bukan dipedomani.
Ketika sopir pengganti bisa langsung masuk tanpa pemeriksaan ketat, itu sudah cukup menjadi indikator bahwa rantai pengawasan tidak tertutup rapat.
Evaluasi SPPG: Perlu, Tapi Jangan Dijadikan Kambing Hitam
Komisi IX meminta evaluasi SPPG. Ini langkah yang patut.
Namun Ronggolawe News mengingatkan satu hal: evaluasi harus menyeluruh, bukan insidental.
SPPG bekerja di bawah sistem yang disusun oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Jika terjadi kelalaian, maka:
SPPG harus diperiksa,
BGN harus diaudit,
SOP harus direvisi,
dan seluruh struktur distribusi harus dipetakan ulang.
Jangan sampai kasus Kalibaru hanya menghasilkan satu pihak dikorbankan sementara persoalan fundamental dibiarkan mengendap.
Rem Blong, Sopir Pengganti, dan Mobil Logistik yang Tak Tertata
Yahya Zaini menyebut dua hal:
- Dugaan rem blong,
- Sopir pengganti tidak layak.
Ini dua masalah berbeda yang menunjukkan satu akar persoalan:
kendaraan logistik MBG tidak berada dalam tata kelola transportasi profesional.
Distribusi MBG bukan sekadar mengantar nasi, tetapi mengantar keselamatan.
Anak-anak menunggu di balik pagar. Orang tua menitipkan nyawa. Negara wajib memastikan setiap titik rantai distribusi dikendalikan oleh tenaga terlatih dengan kendaraan laik jalan.
Jika benar kendaraan tidak terawat, ini bukan kesalahan teknisi semata—ini kelalaian sistemik.
Penanganan Korban Harus Total — Tidak Cukup Santunan Formalitas
Korban luka—baik fisik maupun psikologis—tidak boleh dibiarkan menjadi angka statistik.
Trauma anak-anak yang melihat teman dan gurunya tertabrak bukan persoalan sehari. Ini akan terbawa sampai dewasa jika tidak ditangani oleh tenaga profesional.
Maka desakan agar BGN menanggung biaya perawatan, termasuk kesehatan mental, adalah tuntutan yang sangat rasional dan sesuai prinsip perlindungan negara.
Kesimpulan Redaksi: Perbaikan Harus Dimulai dari Hulu, Bukan Hanya Hilir
Ronggolawe News berpendapat bahwa insiden Kalibaru harus dibaca sebagai momentum besar:
- SOP distribusi MBG harus direvisi total.
Mulai dari kelayakan kendaraan, sertifikasi sopir, rute, jam pengiriman, hingga simulasi darurat.
- Sistem verifikasi tenaga lapangan wajib digital & real time.
Tidak boleh ada sopir pengganti tanpa jejak.
- SPPG perlu audit menyeluruh, bukan sekadar evaluasi reaktif.
Audit harus berbasis data, bukan opini.
- BGN wajib membuka data dan proses distribusi MBG secara publik.
Transparansi adalah peredam kecurigaan.
- Korban harus dipulihkan total—fisik dan psikologis.
Ronggolawe News menolak pemberian vonis cepat.
Tugas jurnalisme adalah menjaga skala proporsionalitas:
✔ kritis tanpa menghakimi,
✔ tajam tanpa melukai fakta,
✔ mendalam tanpa kehilangan akurasi.
Tragedi Kalibaru adalah panggilan bagi negara untuk memperbaiki diri, bukan mencari kambing hitam. Yang dibutuhkan adalah kejujuran sistem, keberanian pembuat kebijakan, dan keberpihakan pada keselamatan anak-anak Indonesia.






























