Jakarta, Ronggolawe News — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai belum cukup jika hanya berhenti pada distribusi makanan. Badan Gizi Nasional (BGN) kini mendorong pendekatan yang lebih substantif: menjadikan kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai agen edukasi langsung di sekolah-sekolah.
Wakil Kepala BGN, Nanik Sudaryati Deyang, menegaskan bahwa edukasi gizi harus berjalan seiring dengan pemberian makanan. Ia meminta para kepala SPPG tidak sekadar mengelola dapur, tetapi juga berperan aktif sebagai “guru tamu” di ruang kelas.
“Kepala SPPG harus berani masuk kelas. Minta waktu satu jam, bergiliran dari kelas ke kelas, menjelaskan apa yang dimakan anak-anak dan manfaat gizinya bagi tubuh,” ujar Nanik dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Menurut Nanik, pemahaman gizi yang baik akan membentuk kesadaran jangka panjang pada siswa, bukan sekadar kebiasaan makan karena program. Dengan mengetahui kandungan protein, vitamin, dan serat dalam menu MBG, anak-anak diharapkan lebih menghargai makanan sehat, termasuk sayuran yang selama ini kerap dihindari.
Tak hanya menyasar sekolah, BGN juga mendorong SPPG membangun jejaring edukasi gizi di tingkat komunitas. Kerja sama dengan puskesmas, kader posyandu, PKK, hingga pemerintah desa dinilai krusial untuk menjangkau ibu hamil, ibu menyusui, dan balita—kelompok yang sama pentingnya dalam upaya perbaikan gizi nasional.
“Forum desa, pertemuan PKK, sampai posyandu harus dimanfaatkan untuk menjelaskan MBG dan pola makan sehat,” kata Nanik.
Menariknya, pendekatan edukasi ini tidak selalu bersifat formal. Di sejumlah daerah, SPPG mulai mengembangkan metode kreatif agar pesan gizi lebih mudah diterima anak-anak. Mulai dari pengantar makanan berkostum tokoh komik, pemberian jajanan sehat sebagai insentif, hingga tantangan makan sayur dengan hadiah kecil.
“Kami bahkan pernah memberi pengemudi kostum power rangers. Anak-anak jadi antusias. Tapi tetap ada syaratnya: makan sayur dulu,” ungkap Nanik.
BGN menilai kreativitas semacam ini penting, selama tidak mengaburkan substansi pesan gizi. Karena itu, Nanik juga menekankan perlunya peningkatan kapasitas kepala SPPG, akuntan, dan ahli gizi dalam komunikasi publik.
“Mereka harus bisa bicara di depan kelas, di forum PKK, maupun di kelurahan. Program sebesar MBG tidak akan berhasil kalau tidak dipahami masyarakat,” tegasnya.
Ronggolawe News mencatat, langkah ini menunjukkan perubahan pendekatan BGN dari sekadar pelaksana teknis menjadi motor edukasi publik. MBG tidak lagi diposisikan hanya sebagai proyek logistik makanan, tetapi sebagai gerakan pembelajaran gizi yang menyentuh ruang kelas dan ruang sosial masyarakat.
Di tengah sorotan terhadap tata kelola dan keselamatan MBG, dorongan edukasi ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan program tidak hanya diukur dari jumlah porsi, tetapi dari sejauh mana pengetahuan gizi tertanam pada generasi penerima manfaat.
Reportase Media Ronggolawe News
Mengabarkan





























