Solo, Ronggolawe News –
Peresmian Panggung Sanggabuwono dan Tata Pamer Museum Keraton Kasunanan Surakarta kembali membuka bab lama konflik internal keraton. Kali ini, polemik muncul bukan pada bangunan yang diresmikan, melainkan pada siapa yang hadir dan siapa yang merasa ditinggalkan.
Pihak Mahamenteri KGPA Tedjowulan akhirnya angkat bicara merespons klaim kubu Paku Buwono (PB) XIV Purbaya yang menyebut tidak diundang dalam agenda peresmian bersejarah tersebut.
Melalui juru bicaranya, Kanjeng Pakeonegoro, respons disampaikan singkat, namun sarat makna.
“Kami sudah berpengalaman mengundang Kanjeng Gusti Pangeran Harya Purubaya, tetapi beliau tidak pernah berkenan hadir,” ujar Pakeonegoro, Kamis (18/12/2025).
Pernyataan ini sekaligus memberi sinyal bahwa ketidakhadiran PB XIV Purbaya bukan semata persoalan undangan administratif, melainkan bagian dari relasi yang telah lama membeku di tubuh Keraton Solo.
“Ini Acara Kita Sendiri”
Lebih jauh, pihak Tedjowulan menegaskan bahwa peresmian Panggung Sanggabuwono dan Museum Keraton bukan acara eksklusif yang mensyaratkan undangan formal bagi keluarga besar keraton.
“Dalam peresmian tata pamer museum dan Panggung Sanggabuwono Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, keluarga besar tidak perlu undangan. Ini acara kita sendiri. Silakan hadir kapan saja,” tegas Pakeonegoro.
Pernyataan ini mengandung pesan simbolik: Keraton bukan sekadar institusi administratif, melainkan rumah bersama, tempat legitimasi kultural seharusnya melampaui formalitas undangan.
Namun, di sisi lain, pernyataan tersebut justru memperjelas garis batas yang kian kasat mata antara dua kubu PB XIV.
Versi Purbaya: Undangan Tak Pernah Ada
Sebelumnya, kubu PB XIV Purbaya menyampaikan versi berbeda. Pengageng Sasana Wilapa versi Purbaya, GKR Panembahan Timoer Rumbay Kusuma Dewayani, menyatakan bahwa undangan resmi hanya ditujukan kepada dirinya dan GKR Paku Buwono.
“Yang kami terima hanya dua undangan. Tidak ada undangan untuk Sinuhun PB XIV Purbaya. Benar-benar tidak diundang,” tegas Rumbay.
Ia mengaku telah berupaya meminta tambahan undangan untuk Pengageng Parentah KGPA Panembahan Dipokusumo dan GKR Devi Lelyana Dewi, namun permintaan tersebut tidak dikabulkan panitia.
Situasi ini membuat Rumbay memilih tidak hadir, sebagai bentuk sikap kelembagaan terhadap figur yang ia anggap sebagai Sinuhun PB XIV Purbaya.
“Mangkubumi diundang, adik saya yang satunya tidak. Saya ini bagian dari kelembagaan Sinuhun XIV Purbaya. Saya harus bersikap,” ujarnya.
Panggung Budaya, Bayang-bayang Politik Simbolik
Polemik undangan ini menunjukkan bahwa konflik Keraton Solo belum sepenuhnya bergeser dari ranah simbolik ke rekonsiliasi substantif. Peresmian bangunan cagar budaya yang seharusnya menjadi momentum persatuan justru kembali menjadi panggung tarik-menarik legitimasi.
Bagi publik, pertanyaan yang mengemuka bukan lagi soal siapa yang benar diundang atau tidak, melainkan kapan Keraton Solo mampu menampilkan wajah utuh sebagai pusat kebudayaan, bukan arena konflik berkepanjangan.
Sanggabuwono telah berdiri kembali dengan wajah baru. Namun, di balik tembok dan tata pamer yang direvitalisasi, retakan relasi internal keraton masih menunggu penyembuhan yang lebih mendasar.
Media Ronggolawe News mengabarkan dari hati, mencatat sejarah bukan hanya dari bangunan yang diresmikan, tetapi juga dari sunyi yang ditinggalkan oleh mereka yang tak hadir.






























