Jakarta, RonggolaweNews
Kadiv Propam (Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan ) Polri melaporkan bahwa terjadi peningkatan pelanggaran etik oleh para Anggota Polri dari tahun ke tahun [1]. Sehubungan dengan kondisi itu, Kadiv Propam, Irjenpol Ferdy Sambo, menyampaikan permohonan maaf kepada Kapolri, Selasa, 13 April 2021.
“Untuk itu, kami menyampaikan permohonan maaf kepada Bapak Kapolri terhadap pelaksanaan tugas yang belum maksimal dari Div Propam Polri dan jajaran sehingga terjadi peningkatan secara kualitas dan kuantitas dalam pelaksanaan kegiatan pelanggaran anggota di lapangan,” kata Sambo sebagaimana dikutip berbagai media nasional.
Hal itu terungkap pada sesi pemaparan kondisi muktahir Divisi Propam Polri oleh Ferdy Sambo dalam kegiatan Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Divisi itu di Mabes Polri hari ini. Dalam pemaparannya, Sambo menunjukkan terdapat sejumlah pelanggaran oleh anggota Polri di tahun 2021, di antaranya 536 pelanggaran disiplin, 279 pelanggaran KEPP, dan 147 pelanggaran pidana.
Merespon hal tersebut, seorang alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, berkomentar bahwa informasi yang disampaikan Sambo itu cukup menarik. “Informasi ini menarik,” ujar Lalengke, yang menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Selasa, 13 April 2021.
Menurut Lalengke, apa yang disampaikan oleh Kadiv Propam Polri itu merupakan gambaran umum terkait kondisi makro terkini Institusi Polri yang dibuat berdasarkan data yang cukup komprehensif dan lengkap. Poin menariknya, kata Lalengke, adalah trend meningkatnya jumlah oknum polisi yang melakukan pelanggaran dari tahun ke tahun.
Ditanya terkait faktor penyebab peningkatan jumlah oknum polisi yang melanggar etik Polri, Lalengke menyebut beberapa poin terkait rekruitmen, pembinaan, dan tingkat kesejahteraan. “Yaa, bisa jadi karena pola rekruitmen personil Polri yang belum baik [2]. Bisa juga karena pola pembinaan Anggota Polri yang masih kurang, dan bisa saja faktor ekonomi keluarga para oknum Anggota Polri yang tidak memadai bagi seseorang yang diberi tugas sebagai Polisi,” beber lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, itu.
Namun demikian, Wilson Lalengke, lebih melihat persoalan mendasar yang dihadapi Institusi Polri dalam upaya pembenahan di internalnya adalah pada struktur organisasi lembaga Polri. “Terlepas dari beberapa factor di atas tadi itu, saran saya agar Polri semestinya mereview kembali beberapa unit/divisi yang selama ini menjadi ‘sarang penyamun’ di lembaga baju coklat kita itu. Jika bisa dibenahi sengkarut yang ada di unit-unit dimaksud, seperti di Korps Lalulintas (Korlantas/Ditlantas), Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri, dan Direktorat Reserse Narkoba, maka lakukan pembenahan segera dan tuntas. Jika tidak, sebaiknya dibubarkan saja dan dilebur ke dalam unit atau divisi, atau bahkan ke lembaga lain di luar Polri yang tugasnya relevan seperti Perhubungan, KPK, Kejaksaan, dan BNN,” jelas Lalengke.
Dia juga menyindir agar Polri jangan membiasakan diri membuat struktur organisasi yang gemuk. “Janganlah terbiasa membuat struktur organisasi yang gemuk-gemblung hanya untuk memperbanyak pos jabatan dan potensi menaburkan bintang-bintang di pundak. Presiden Jokowi beberapa kali menyampaikan pandangan dan keyakinannya bahwa lembaga pelaksana teknis pemerintahan seharusnya kecil-efektif, lincah dan memiliki fleksibitas yang tinggi, mudah menyesuaikan dengan tuntutan situasi, kondisi, dan zaman,” urai pria yang juga menyelesaikan program pasca sarjananya di bidang Applied Ethics dari Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia, ini.
Rakyat rugi berlipat-ganda, sambung Lalengke, akibat unit-unit atau divisi tersebut. Pertama, rakyat harus bayar pejabat berbintang dalam jumlah yang banyak namun hasil kerja minus. Kedua, ruang ‘peras-memeras’ rakyat bertameng UU dan peraturan terbuka lebar.
“Kasus pemerasan dan pemalakan yang dilakukan AKBP Dr. Binsan Simorangkir, SH, MH, penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri [3], yang terkuak baru-baru ini adalah contoh nyata sebagai bukti bahwa unit tersebut telah dimanfaatkan para oknum untuk ‘menyamun’ rakyat yang sudah bayar isi perut mereka sehari-hari,” kata Lalengke.
Pola 86 (kesepakatan damai antara polisi dan warga pelanggar aturan– red) di jalanan mungkin sedikit-banyak akan dapat diatasi dengan sistem ETLE. Namun, menurut Lalengke lagi, tidak menutup kemungkinan kegiatan ‘menyamun’ warga pengguna jalan masih marak. “Terutama terhadap sopir truk dan angkutan umum lintas provinsi, lintas pulau [4],” sambung Lalengke menambahkan.
Selanjutnya, di jajaran aparat di unit Reserse Narkoba, Lalengke juga mensinyalir banyaknya laporan yang pada intinya oknum polisi menyalahgunakan wewenangnya. Kasus salah tangkap dan kriminalisasi warga oleh oknum petugas di Ditresnarkoba hampir setiap hari diberitakan media.
“Modus pemerasan dengan imbalan lepas dari jeratan hukum jadi alat memperkaya diri para oknum dan gerombolannya [5]. Tidak terbayangkan, betapa parahnya kerusakan tatanan kehidupan sosial-kemasyarakatan yang terjadi sebagai dampak dari kebobrokan hampir 7.000 personil Polri, berdasarkan data 2020 itu. Data ini diyakini beberapa pihak hanyalah ibarat puncak gunung es. Sebenarnya, jumlah oknum polisi yang ‘salah jalan’ jauh lebih besar, bisa mencapai setengah dari jumlah keseluruhan 400 ribuan anggota Polri,” beber Lalengke, yang juga menjabat sebagai Presiden organisasi Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) itu.
Rakyat tentunya merasa miris melihat perilaku dan cara hidup para oknum aparat Polri di beberapa unit yang disebutkan tersebut. “Masa tugas baru seumur jagung di unit itu, namun tingkat kehidupannya boleh bersaing dengan para konglomerat ternama di negeri ini. Lihat saja mobil-mobil yang memenuhi Kantor Polisi, dari Mabes Polri hingga ke Polsek, mengkilat dan mewah. Apakah mungkin itu murni dari uang gaji mereka sebagai Polisi?” pungkas Lalengke dengan nada selidik.
Semoga Kapolri bersama jajaran Divisi Propam-nya dapat membedah kasus di internal Polri dengan baik dan melakukan pembenahan total hingga tuntas.(red).