Tuban, Ronggolawe News – Proyek Penanaman 16.400 biopori yang dilakukan oleh Pemkab Tuban, Jatim, dinilai bukan langkah yang tepat untuk mengatasi banjir.
Pembina Yayasan Pecinta Alam Acarina Indonesia (YPAAI), M. Ali Baharudin, menyampaikan penilaian itu, Selasa (04/01/2022). Karena menurutnya, biopori hanya berfungsi sebagai resapan untuk mengurangi genangan.
“Demensi pori-pori biopori kecil, jadi relatif lebih lambat penyerapan airnya sehingga tidak akan mampu mengatasi debit larian air ketika banjir,” jelas Ali Baharudin.
Ali Baharudin menandaskan, jika Pemkab bermaksud mengatasi banjir, bukan biopori solusinya, tapi penghijauan kembali catchment area (daerah tangkapan air) yang saat ini kondisinya sudah banyak yang kritis. Pembuatan embung, tambahnya, juga perlu dilakukan untuk keperluan darurat karena revegetasi daerah tangkapan air hingga bisa kembali berfungsi sebagai resapan air butuh waktu lumayan lama.
“Tapi pembuatan embung ini juga harus dikaji betul kontur tanahnya, titik-titik koordinatnya dimana, bukan berdalih karena kedaruratan kemudian dilaksanakan tidak prosedural dan tidak profesional,” kata Ali Baharudin.
Ali Baharudin sendiri selain menilai pembuatan puluhan ribu biopori tersebut juga tak efektif menyelesaikan masalah banjir bandang atau banjir luapan juga menghambur-hamburkan anggaran Negara. Sebab, katanya, pembuatan biopori itu disebar rata di 328 desa/kelurahan. Tiap desa dapat jatah 50 biopori seharga Rp 54.878 tiap satu biopori, sehingga total anggaran yang dibuang untuk proyek itu sebanyak Rp 900 juta.
“Akan lebih efektif kalau biopori itu dipusatkan di wilayah perkotaan. Kalau di desa kurang efektif. Di desa itu masih banyak ruang bentalangan terbuka yang mampu menyerap air lebih baik, ungkap Ali Baharudin.
Kepala Dinas (Perhubungan dan) Lingkungan Hidup (DPLH), Ir Bambang Irawan, dalam menanggapi kritik aktivis lingkungan mengatakan, penanaman biopori itu bukan satu-satunya program penanganan banjir di Tuban, terutama di perkotaan. Bambang sependapat, biopori memang hanya berfungsi sebagai pemercepat resapan genangan, dan memang biopori-biopori tersebut dibuat agar tidak terjadi genangan dalam durasi lebih lama, terutama di daerah pemukiman penduduk.
“Tiap satu biopori mampu menyerap genangan air 120 liter per jamnya. Idealnya tiap 10 meter persegi ada satu biopori, untuk daerah dengan genangan banyak, satu meter persegi satu biopori,” jelas Bambang Irawan.
Penanaman 16.400 biopori yang merata di 328 desa/kelurahan itu, kata Bambang Irawan, baru langkah awal untuk mengatasi persoalan banjir, terutama genangannya. Berikutnya, diharapkan masing-masing rumah memiliki biopori sendiri.
“Kami akan bantu alat bor bioporinya. Jadi nanti kalau masing-masing rumah sudah tertanam biopori minimal satu biopori tiap 10 meter persegi, insya Allah banjir bisa cepat surutnya, tidak ada genangan yang sampai berhari-hari,” kata Bambang Irawan.(red)