Solo, Ronggolawe News – Pergantian gembok di Museum Keraton Surakarta pada Sabtu (13/12/2025) bukan sekadar urusan teknis pengamanan bangunan cagar budaya. Peristiwa yang berujung pada keluarnya puluhan pegawai Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X Jateng–DIY itu kembali menyingkap konflik otoritas yang belum selesai di tubuh Keraton Surakarta.
Di saat Lembaga Dewan Adat (LDA) — pendukung SISKS Pakubuwana XIV Mangkubumi — berada di Jakarta memenuhi undangan Kementerian Kebudayaan, situasi di dalam keraton justru memanas. Tim BPK X yang tengah melakukan revitalisasi dan konservasi museum mendadak diminta meninggalkan lokasi, disusul penggantian seluruh gembok pintu museum.
Pegawai Negara Diminta Keluar, Aset Kerja Tertinggal
Aldila, salah satu pegawai BPK X, mengungkapkan bahwa dirinya bersama 20–25 orang tim diminta keluar secara mendadak sekitar pukul 15.00 WIB. Tidak ada penjelasan resmi, surat, maupun pemberitahuan administratif.
“Situasinya tidak kondusif. Banyak orang masuk, lalu kami diminta keluar. Akhirnya kami memilih meninggalkan ruangan,” ujar Aldila.
Masalah tidak berhenti di situ. Setelah keluar, seluruh pintu museum digembok. Peralatan konservasi, dokumen kerja, hingga perlengkapan pribadi tim BPK tertinggal di dalam museum.
Bagi BPK X, peristiwa ini bukan hanya soal terhentinya pekerjaan, melainkan menyangkut otoritas negara dalam pelestarian cagar budaya yang seolah tersandera konflik internal keraton.
Bantahan Pengusiran, Tapi Gembok Tetap Diganti
Pihak SISKS Pakubuwana XIV Purbaya membantah adanya pengusiran. Juru bicara, KPA Singonagoro, menyebut langkah tersebut semata-mata bagian dari pembenahan internal keraton.
“Tidak ada pengusiran. Kami hanya meminta mereka pulang lebih awal karena akan dilakukan penggantian gembok,” ujarnya.
Namun pernyataan ini menyisakan pertanyaan mendasar: mengapa penggantian gembok harus dilakukan saat masih ada aktivitas resmi negara di dalam museum? Dan mengapa tidak ada mekanisme koordinasi formal terlebih dahulu?
Singonagoro mengungkapkan bahwa selama ini kunci-kunci keraton dikuasai LDA. Sementara kubu Pakubuwana XIV Purbaya mengklaim telah melantik Bebadan (kabinet) baru sejak akhir November, sehingga merasa berhak menata ulang akses dan pengamanan keraton.
Menurutnya, sekitar sepuluh pintu diganti gemboknya, termasuk akses Kamandungan, Kasentanan, Sasono Wilopo, perpustakaan, hingga museum. Langkah ini, kata dia, dimaksudkan untuk memudahkan koordinasi dan memastikan otoritas kerja berada di tangan struktur yang telah ditetapkan PB XIV Purbaya.
Editorial Redaksi Media Ronggolawe News
Ketika Gembok Mengalahkan Akal Sehat di Keraton Surakarta
Pergantian gembok di Museum Keraton Surakarta bukan peristiwa sepele. Ia adalah simbol paling gamblang tentang bagaimana akal sehat, tata kelola budaya, dan kewibawaan negara bisa kalah oleh konflik klaim dan ego kekuasaan yang berkepanjangan.
Museum bukan ruang privat. Ia adalah ruang publik, tempat sejarah dipelihara dan pengetahuan diwariskan. Ketika pegawai negara yang sedang menjalankan mandat pelestarian budaya diminta keluar secara sepihak, lalu pintu digembok tanpa koordinasi resmi, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar kunci besi—melainkan legitimasi pengelolaan warisan budaya bangsa.
Redaksi menilai, narasi “tidak ada pengusiran” menjadi problematis ketika faktanya pekerjaan terhenti, peralatan tertahan di dalam, dan akses publik tertutup. Mengganti gembok saat aktivitas konservasi berlangsung bukan tindakan administratif biasa, melainkan keputusan politis yang sarat pesan: siapa berkuasa, siapa harus menyingkir.
Konflik internal Keraton Surakarta sejatinya telah melampaui batas tembok adat. Ketika urusan suksesi dan klaim gelar merembes ke ruang museum dan menghambat kerja lembaga negara, maka negara tidak boleh berdiri di pinggir sebagai penonton. Membiarkan tarik-menarik ini sama artinya membiarkan cagar budaya dijadikan sandera konflik elite.
Dalih pembenahan dan penertiban akses tidak bisa menjadi alasan pembenar jika dilakukan dengan mengorbankan transparansi dan koordinasi. Ketertiban tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan, dan tradisi tanpa akal sehat hanya akan melahirkan kekacauan baru.
Lebih ironis lagi, peristiwa ini terjadi di tengah upaya negara memperkuat diplomasi kebudayaan dan pelestarian warisan sejarah. Apa maknanya jika di lapangan, aparat pelestarian justru dipinggirkan oleh klaim sepihak atas kunci dan gembok?
Keraton Surakarta adalah simbol kebudayaan, bukan medan kontestasi tanpa aturan. Jika setiap kubu merasa berhak menutup pintu atas nama legitimasi sendiri, maka yang tertutup bukan hanya museum, tetapi juga masa depan warisan budaya itu sendiri.
Museum di Tengah Tarik Ulur Kekuasaan
Pergantian gembok di area museum menjadi sorotan paling sensitif. Museum Keraton Solo bukan sekadar ruang internal keraton, melainkan objek cagar budaya nasional yang berada dalam pengawasan negara dan sedang direvitalisasi oleh lembaga resmi.
BRM Suryo Mulyo, cucu PB XIII, menyayangkan penggantian gembok dilakukan saat proses konservasi masih berjalan.
“Kalau di museum, itu kurang pas. Ada BPK yang sedang bekerja, tiba-tiba diminta keluar dan pintu digembok,” ujarnya.
Ia menyebut pergantian gembok dilakukan sekitar pukul 15.00 WIB, melibatkan kurang lebih 20 orang. Tidak ada penjelasan rinci mengenai alasan teknis saat itu, selain keinginan mengganti gembok.
Di Mana Negara Berdiri?
Insiden ini terjadi ketika PB XIV Mangkubumi berada di Jakarta untuk agenda bersama Kementerian Kebudayaan. Fakta tersebut memperkuat kesan bahwa konflik internal keraton terus berjalan tanpa satu garis komando yang diakui bersama.
Bagi Ronggolawe News, persoalan gembok bukan sekadar soal kunci dan pintu. Ini adalah simbol tarik-menarik legitimasi, yang dampaknya merembet hingga kerja-kerja pelestarian budaya. Ketika konservator negara harus berhenti bekerja karena konflik internal, maka yang dirugikan bukan hanya satu kubu, melainkan warisan sejarah itu sendiri.
Kini, semua pihak menunggu sikap Lembaga Dewan Adat dan arah fasilitasi pemerintah. Sebab tanpa kejelasan otoritas dan mekanisme bersama, Keraton Solo akan terus menjadi arena konflik—bukan ruang teduh bagi budaya yang seharusnya dirawat bersama.
Redaksi menegaskan:
Negara harus hadir, tegas, dan adil. Bukan untuk memilih kubu, melainkan untuk memastikan bahwa sejarah, budaya, dan kepentingan publik tidak dikorbankan oleh konflik internal yang tak kunjung selesai.
Sebab ketika gembok lebih berkuasa daripada akal sehat, yang terkunci bukan pintu museum—melainkan nurani kebudayaan kita.
Konflik Internal, Dampak Publik
Pergantian gembok ini menandai babak baru konflik simbolik dan administratif di Keraton Surakarta. Museum, yang seharusnya menjadi ruang edukasi publik dan pelestarian sejarah, justru berubah menjadi medan tarik-menarik legitimasi.
Ironisnya, yang terdampak bukan hanya internal keraton, tetapi juga institusi negara dan kepentingan publik. Program revitalisasi dan konservasi yang didanai negara terhenti, sementara aset budaya berisiko terbengkalai di tengah ketidakpastian kewenangan.
Pertanyaan Kritis yang Menggantung
Peristiwa ini memunculkan sejumlah pertanyaan krusial:
Siapa otoritas sah yang berhak mengendalikan akses Museum Keraton Surakarta?
Bagaimana posisi negara ketika konflik adat dan klaim simbolik berhadapan dengan tugas pelestarian budaya?
Sampai kapan ruang publik kebudayaan menjadi korban tarik-menarik elite internal keraton?
Bukan Sekadar Gembok
Bagi Ronggolawe News, insiden ini bukan tentang siapa mengganti gembok siapa. Ini tentang krisis tata kelola warisan budaya, ketika simbol kekuasaan lebih dominan dibanding tanggung jawab sejarah.
Jika konflik ini terus dibiarkan tanpa penegasan peran negara, Keraton Surakarta berisiko berubah dari pusat kebudayaan menjadi ruang eksklusif yang tertutup — bukan oleh tembok, melainkan oleh ego dan klaim legitimasi yang saling berbenturan.
Media Ronggolawe News Mengabarkan dari Hati
Kami tidak sekadar menulis peristiwa.
Kami menyimak denyutnya,
mendengar yang tak terucap,
dan mencatat jejak kebenaran yang sering ingin dihapus waktu.
Di tengah hiruk-pikuk klaim, kuasa, dan kepentingan,
Ronggolawe News memilih berdiri di sisi nurani—
mengabarkan bukan untuk menghakimi,
melainkan untuk mengingatkan.
Dari desa hingga keraton,
dari ladang rakyat hingga ruang kekuasaan,
kami percaya:
berita yang jujur harus berangkat dari hati yang berani,
bukan dari meja pesanan.
Karena jurnalisme sejati
bukan soal siapa yang paling keras bersuara,
tetapi siapa yang paling setia pada kebenaran.
Ronggolawe News
🖤 Mengabarkan dari hati,
✍️ Menulis dengan nurani,
🔥 Berdiri untuk publik.






























