Jakarta, Ronggolawe News —
Pemerintah pusat akhirnya mengambil peran lebih aktif dalam meredam dinamika internal Keraton Surakarta. Kementerian Kebudayaan RI memfasilitasi forum silaturahmi dan dialog keluarga besar Keraton Solo, sebagai ikhtiar menjaga keberlanjutan warisan budaya nasional pasca 40 hari wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII.
Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, menegaskan bahwa negara tidak dalam posisi mencampuri urusan adat, namun berkewajiban memastikan Keraton Surakarta tetap terjaga sebagai cagar budaya nasional yang hidup, bukan sekadar simbol sejarah yang terbelah konflik internal.
“Kami hadir sebagai fasilitator. Negara mendorong musyawarah keluarga keraton agar persoalan suksesi, tata kelola, dan pelestarian cagar budaya diselesaikan dengan cara-cara tradisi, bermartabat, dan berkelanjutan,” ujar Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Minggu (14/12/2025).
Keraton sebagai Ekosistem Budaya, Bukan Arena Konflik
Dalam pandangan Kementerian Kebudayaan, Keraton Solo bukan hanya bangunan bersejarah, melainkan ekosistem kebudayaan yang menyatukan nilai adat, spiritualitas, serta identitas bangsa. Karena itu, konflik internal yang berlarut dikhawatirkan berdampak langsung pada upaya pelestarian warisan budaya.
Fadli menekankan pentingnya menahan diri dan kembali ke jalan musyawarah mufakat—sebuah prinsip yang justru menjadi inti tradisi keraton itu sendiri.
“Keraton harus menjadi teladan bagaimana konflik diselesaikan dengan kearifan, bukan dengan klaim sepihak atau penguncian simbol-simbol budaya,” ujarnya.
Absensi Tokoh Kunci Jadi Catatan
Dialog yang digelar di Jakarta pada Sabtu (13/12/2025) tersebut dihadiri sejumlah tokoh keluarga dan lembaga adat, di antaranya Panembahan Agung Tedjowulan selaku Maha Menteri, Ketua Lembaga Adat GKR Wandansari Koes Moertiyah, KGPH Hangabehi, serta sejumlah pengageng keraton.
Namun, absennya KGPH Purbaya dan istri almarhum PB XIII menjadi catatan tersendiri. Situasi ini mempertegas bahwa proses rekonsiliasi masih membutuhkan ruang dialog lanjutan yang lebih inklusif.
Pemerintah Belajar dari Sejarah Dualisme
Panembahan Agung Tedjowulan mengingatkan bahwa Keraton Solo pernah mengalami dualisme kepemimpinan pasca PB XII. Kala itu, konflik berhasil diredam melalui mediasi langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, demi menjaga keutuhan keraton sebagai simbol budaya Jawa.
Pengalaman tersebut, menurutnya, seharusnya menjadi pelajaran bahwa konflik internal keraton tidak boleh dibiarkan berlarut tanpa penengah.
Interim Leadership dan Revitalisasi
Untuk sementara waktu, pemerintah mendorong Panembahan Agung Tedjowulan menjalankan peran sebagai pemimpin interim, sembari membuka ruang musyawarah keluarga yang lebih luas dan menyeluruh.
Di sisi lain, Kementerian Kebudayaan juga menegaskan komitmennya pada revitalisasi fisik dan manajerial keraton. Sepanjang 2025, pemerintah telah memfasilitasi revitalisasi Panggung Songgo Buwono—bangunan abad ke-18—serta Museum Keraton Solo.
“Revitalisasi bukan hanya soal bangunan, tapi juga tata kelola yang profesional, agar keraton berkelanjutan dan menyejahterakan,” tegas Fadli.
Menjaga Keraton, Menjaga Jati Diri Bangsa
Bagi Ronggolawe News, langkah negara memfasilitasi dialog ini menunjukkan satu pesan penting: Keraton Solo adalah milik sejarah bangsa, bukan milik konflik keluarga semata. Musyawarah bukan pilihan, melainkan kewajiban moral demi menjaga marwah adat dan warisan leluhur.
Pemerintah menegaskan akan terus mengawal proses dialog secara inklusif dan berkelanjutan, dengan satu harapan: Keraton Surakarta kembali menjadi pusat kebudayaan yang teduh, bersatu, dan bermartabat—bukan panggung tarik-menarik kuasa.
Ronggolawe News
Mengabarkan dari hati, menjaga sejarah dengan nurani.






























