Kasus Dugaan Penyalahgunaan Wewenang Polsek Kasembon Jadi Cermin Lemahnya Pengawasan Internal
Malang, Ronggolawe News —
Kasus dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum anggota Polsek Kasembon, Polres Batu, kembali menelanjangi wajah buram penegakan prinsip Presisi di tubuh Kepolisian. Laporan resmi yang diajukan Dwijo Kretarto, S.E., M.M. sejak 6 Mei 2025, hingga kini belum juga menampakkan kejelasan.
Dalam surat resmi tertanggal 10 November 2025 kepada Kapolda Jawa Timur, Dwijo menyebut penanganan kasus oleh Propam Polres Batu “berjalan tanpa arah dan tanpa komitmen transparansi.”
“Kasus ini sederhana, tetapi ditangani seolah-olah mengandung kerumitan luar biasa. Lambannya tindak lanjut memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan internal Polri,” ujarnya tegas.
Kekecewaan Dwijo semakin menguat setelah komunikasi pribadinya dengan Kanit Provos Polres Batu, Aiptu Gatut Rahmanto, tak membuahkan kepastian. Saat ditanya perkembangan laporan, Aiptu Gatut hanya menjawab:
“Mohon maaf bapak, kemarin sudah kita kirim SP3D-nya. Untuk perkembangan lebih lanjut akan kita kirimkan lagi.”
Namun faktanya, SP3D terakhir diterima 14 Oktober 2025, dan tidak ada tindak lanjut hingga awal November. Ketika Dwijo mempertanyakan progres permintaan saran hukum ke Bidkum Polda Jatim, jawaban yang muncul hanyalah kalimat datar:
“Kita juga menunggu.”
Kalimat ini menjadi simbol dari apa yang oleh banyak pihak disebut sebagai “diamnya sistem pengawasan” di level Polres.

Praktisi Hukum: Propam Polres Batu Tidak Progresif dan Lemah Pengawasan
Kuasa hukum pelapor, Agus Sholahuddin dari Firma Hukum ELTS, menilai Propam Polres Batu kehilangan roh progresivitas yang seharusnya menjadi bagian dari gerakan reformasi Polri.
“Laporan masuk sejak Mei. Hingga November, jawabannya masih ‘kami menunggu’. Ini menunjukkan Propam Polres Batu tidak progresif, tidak akuntabel, dan tidak transparan. Prinsip Presisi yang digaungkan Polri hanya berhenti di slogan,” tegas Agus.
Ia menambahkan, jika pelapor harus terus-menerus mengejar perkembangan, maka mekanisme kontrol internal tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Kalau masyarakat harus mengingatkan Propam agar bekerja, berarti ada yang tidak beres di sistemnya,” lanjutnya.
Momentum Reformasi Polri: Kapolri Sudah Bicara, Tapi Daerah Masih Diam
Ironisnya, stagnasi ini terjadi di saat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tengah menggencarkan agenda Reformasi Polri. Dalam rapat Komisi Percepatan Reformasi Polri di Mabes Polri, 10 November 2025, Sigit menegaskan:
“Polri selalu terbuka terhadap kritik dan evaluasi. Kita ingin wujudkan Polri yang profesional, transparan, dan memenuhi harapan masyarakat.”
Namun realita di lapangan memperlihatkan kontras tajam. Di saat pusat bicara reformasi, daerah justru masih berkutat dalam pola lama — tertutup, lamban, dan minim tanggung jawab publik.
Agus menilai kasus yang dialami Dwijo adalah contoh nyata kesenjangan antara visi nasional dan realitas daerah.
“Jika Polda tidak turun tangan, maka semangat reformasi itu akan mati di meja birokrasi Propam,” katanya.
Dwijo: “Saya Hanya Minta Kepastian, Bukan Janji”
Dwijo Kretarto, pengadu yang juga dosen dan pemerhati kebijakan publik, menyatakan dirinya tidak mencari sensasi, tetapi menuntut profesionalitas.
“Saya hanya ingin kepastian hukum. Jangan ada tebang pilih. Kalau Propam mau dipercaya masyarakat, mereka harus bekerja, bukan menunggu,” ujarnya.
Ia berharap Kapolda Jawa Timur mengambil langkah konkret mengevaluasi kinerja Propam Polres Batu, agar reformasi Polri benar-benar terasa hingga ke tingkat bawah.
Catatan Redaksi Ronggolawe News
Kasus Dwijo bukan hanya perkara administratif, tetapi cermin dari stagnasi mental di tubuh pengawasan internal kepolisian.
Ketika laporan masyarakat disikapi dengan “menunggu,” maka yang sebenarnya berhenti bukan hanya proses, tapi rasa keadilan.





























