Solo, Ronggolawe News – Revitalisasi Panggung Sangga Buwana yang diresmikan Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Selasa (16/12/2025) bukan sekadar perbaikan fisik bangunan tua—melainkan upaya menghidupkan kembali pusat kosmologi Jawa yang selama ini hanya dipahami sebagian kalangan.
Di balik cat putih-biru dan arsitektur delapan sisinya, menara setinggi 30 meter tersebut sesungguhnya adalah poros peradaban yang memadukan fungsi militer, spiritual, dan simbol politik Keraton Surakarta Hadiningrat.
Jejak Sejarah yang Lebih dari Sekadar Arsitektur
Dalam pidatonya, Menteri Fadli menegaskan bahwa Sangga Buwana adalah “salah satu pusat ingatan kolektif bangsa.” Dibangun pada masa Paku Buwono III (1749–1788), menara lima lantai ini menyimpan penanda waktu berupa sengkalan Nogo Muluk Tinitihan Janmo, yang menunjukkan tahun Jawa 1708 atau 1782 Masehi—tahun berdirinya bangunan tersebut.
Namun pernyataan penting justru muncul ketika Fadli mengutip makna filosofis sengkalan tersebut:
visi bahwa suatu saat rakyat memilih pemimpinnya sendiri—sebuah pesan yang terasa relevan hingga hari ini.
Menara Pengawas yang Pernah Jadi “CCTV” Masa Lampau
Pada abad ke-18 hingga 19, Sangga Buwana adalah titik observasi tertinggi di Pulau Jawa. Prajurit keraton memanfaatkan ketinggian menara untuk:
Mengawasi Alun-alun Utara
Memantau aktivitas militer Belanda di Benteng Vastenburg
Menjadi sistem peringatan dini terhadap ancaman musuh
Fungsi ini menjadikan menara tersebut bukan hanya simbol kekuasaan, tetapi juga perangkat pertahanan strategis Keraton Mataram Islam.
Ruang Sunyi Para Raja: Meditasi dan Komunikasi Spiritual
Selain sebagai menara pengawas, Sangga Buwana menyimpan dimensi esoteris yang jarang diketahui publik. Di puncaknya, raja-raja Kasunanan melakukan malenggeng—tapa brata untuk mencari petunjuk bagi kesejahteraan rakyat.
Posisinya yang berada tepat di jantung keraton menjadikannya representasi dari Axis Mundi, poros dunia.
Buwono Agung – Buwono Tengah – Buwono Alit
(Tata kosmos – Pusat kekuasaan – Kehidupan manusia)
Tiga lapisan filosofi inilah yang melahirkan nama “Sangga Buwana”, yang berarti penyangga dunia.
Bertahan dari Kebakaran, Rekonstruksi, hingga Revitalisasi Modern
Bangunan ini sempat musnah dalam kebakaran besar pada 19 November 1954. Rekonstruksi dilakukan pada 1959, kemudian pemugaran terakhir pada 2008. Revitalisasi tahun 2025 menjadi momentum penting setelah bertahun-tahun penurunan kondisi fisik.
“Pemugaran ini bukan hanya membenahi bangunan, tetapi mengembalikan konteks sejarahnya,” tegas Menteri Fadli.
Menjaga Ingatan, Menghidupkan Kembali Kesadaran Budaya
Revitalisasi Sangga Buwana kini diarahkan menjadi ruang edukasi sejarah dan budaya Jawa. Pemerintah berharap menara ini menjadi saksi yang terus berbicara, bukan sekadar monumen bisu.
“Dengan melihat langsung artefak-artefak ini, masyarakat bisa memahami perjalanan peradaban bangsa,” tutup Menteri Fadli






























