Ronggolawe News – Pemerintah resmi menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi sebesar 20 persen sejak 22 Oktober 2025. Langkah ini langsung disambut Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur (Jatim) dengan gerakan cepat: melakukan inspeksi ke kios-kios dan memerintahkan seluruh petugas kabupaten menyosialisasikan harga baru kepada petani.
Namun di balik kabar baik tersebut, Ronggolawe News menemukan bahwa penurunan HET ini masih menyisakan persoalan: apakah kebijakan ini benar-benar menjangkau petani atau sekadar meredam gejolak di tengah lonjakan biaya produksi?
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim, Heru Suseno, menyatakan bahwa semua lini telah digerakkan untuk memastikan penurunan HET benar-benar diterapkan hingga tingkat paling bawah.
“Petani harus tahu dan merasakan langsung harga baru. Kami pastikan kios menjual sesuai ketentuan,” tegas Heru, Rabu (19/11/2025).
Tim pengawasan, menurut Heru, sudah turun langsung bersama Pupuk Indonesia untuk memeriksa kesesuaian harga dan ketersediaan stok—terutama karena wilayah Jatim kini memasuki musim tanam.
Analisis: Penurunan HET Berdampak Besar, tetapi Pengawasan Masih Kunci Utama
Penyesuaian harga ini dilakukan melalui Kepmentan Nomor 1117/Kpts./SR.310/M/10/2025, menggantikan aturan sebelumnya. Harga turun cukup signifikan:
Rincian Penurunan Harga:
Urea:
Dari Rp 2.250/kg → Rp 1.800/kg
(Harga satu sak turun dari 112.500 → 90.000 rupiah)
NPK:
Dari Rp 2.300/kg → Rp 1.840/kg
(Harga satu sak turun dari 115.000 → 92.000 rupiah)
Kebijakan ini jelas membantu petani di musim tanam. Namun, pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa harga turun tidak otomatis membuat pupuk lebih mudah didapat. Di sejumlah daerah, disparitas serapan antar jenis pupuk sering menunjukkan adanya hambatan distribusi.
Serapan Pupuk: Data Menunjukkan Ketimpangan di Lapangan
Heru membeberkan tingkat serapan pupuk bersubsidi di Jatim yang menunjukkan pola menarik:
Urea
Alokasi: 962.359 ton
Realisasi: 806.424 ton (84%)
NPK
Alokasi: 825.270 ton
Realisasi: 725.998 ton (88%)
NPK Formula
Alokasi: 818 ton
Realisasi: 345 ton (42,2%)
Pupuk Organik
Alokasi: 201.499 ton
Realisasi: 125.501 ton (62,3%)
ZA
Alokasi: 63.713 ton
Realisasi: 5.181 ton (8,1%)
Ronggolawe News mencatat tiga catatan kritikal:
- Serapan ZA sangat rendah (8,1%), mengindikasikan distribusi atau minat pemakaian yang bermasalah.
- NPK Formula di bawah 50%, padahal pupuk jenis ini banyak dibutuhkan untuk komoditas tertentu.
- Pupuk organik masih tertinggal, meski pemerintah terus mendorong pemanfaatannya.
Dengan distribusi yang tidak merata, penurunan HET belum sepenuhnya menjamin efektivitas.
Wawancara Lapangan: “Harganya memang turun, tapi barangnya kadang kosong.”
Dari hasil penelusuran Ronggolawe News di beberapa kecamatan di Jatim, sejumlah petani menyatakan bahwa harga memang turun sesuai aturan, namun ketersediaan stok masih bergantung pada kebijakan kios dan prioritas RDKK.
Seorang petani padi di wilayah Ngawi menyebutkan:
“Harga turun iya, tapi kalau barang telat datang kami tetap menunggu lama. Jangan sampai kebijakan ini hanya bagus di kertas.”
Kondisi inilah yang membuat kebijakan pemerintah perlu pengawasan berlapis, bukan hanya sekadar inspeksi rutin.
Kesimpulan Ronggolawe News: Kebijakan Baik, Tetapi Tanggung Jawab Distribusi Harus Diperketat
Penurunan HET sebesar 20 persen merupakan langkah progresif dan populis, namun:
Distribusi harus ditegakkan tanpa permainan di lapangan,
Pengawasan harus ketat hingga tingkat kios,
Petani harus mendapatkan akses langsung, bukan sekadar informasi,
Dan disparitas serapan antar jenis pupuk harus menjadi alarm bagi pemerintah.
Pemerintah Jatim sudah bergerak cepat, tetapi keberhasilan kebijakan ini hanya dapat diukur dari satu indikator:
apakah petani betul-betul mendapatkan pupuk tepat waktu, tepat harga, dan tepat jumlah.
Ronggolawe News akan terus memantau implementasi kebijakan ini di lapangan.





























