EDITORIAL – OPINI ANTO SUTANTO
Perayaan malam puncak Hari Jadi ke-732 Kabupaten Tuban yang digelar di Alun-Alun kota dengan tajuk “Karya Cinta” telah usai. Hujan turun, panggung 360 derajat berdiri megah, musik mengalun, kembang api mengoyak langit, ribuan warga menyesaki pusat kota. Banyak yang pulang dengan wajah puas. Namun sebagai orang Tuban yang mencintai tanah ini apa adanya—dengan sejarahnya yang panjang, budayanya yang tua, dan tantangan masa depannya yang kompleks—saya melihat lebih dari sekadar sebuah perayaan.

Saya melihat sebuah cermin: tentang siapa kita hari ini, dan apa yang akan menjadi Tuban esok hari.
Panggung 360 Derajat, Tapi Apakah Kita Sudah Melihat dari Semua Sisi?
Panggung berputar, sorot cahaya menari, para pemimpin daerah tampil sebagai seniman, dan tamu-tamu terhormat berdiri di barisan depan. Semua itu indah, patut diapresiasi. Namun saya merasa ada satu sisi yang tidak boleh dilupakan: sudut paling sunyi dari sebuah pembangunan, yaitu ruang di mana rakyat kecil menunggu giliran diperhatikan.
Sebuah panggung mewah memang bisa memukau, tetapi apakah ia juga mampu menerangi lorong-lorong gelap pelayanan publik?
Apakah ia juga mampir ke tempat-tempat di mana warga berjuang mendapatkan air bersih, jalan layak, lapangan pekerjaan, dan kepastian hukum?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak bermaksud mengurangi kemegahan acara, tetapi justru menjadi refleksi agar selectric tidak mengalahkan substansi.
Kolaborasi Birokrat di Atas Panggung: Simbol atau Sekadar Seremonial?
Sendra Tari Ranggalawe Winisuda yang ditarikan pejabat publik adalah langkah yang unik—menghadirkan kesan bahwa birokrasi mau turun ke ruang budaya. Sebuah niat baik, tanpa keraguan.
Namun, saya percaya bahwa seni bukan sekadar pertunjukan, tapi cara berpikir. Dan semoga cara berpikir itulah yang dibawa pulang oleh para pemimpin setelah lampu panggung padam—bahwa seni mengajarkan ketulusan, keberanian membuat terobosan, dan kemampuan merasakan denyut rakyat.
Jika itu yang terjadi, maka Karya Cinta bukan hanya pesta; ia menjadi fondasi moral pembangunan.
Doa Bersama di Tengah Bencana: Pengingat Bahwa Tuban Tidak Hidup Sendiri
Saat ribuan warga menundukkan kepala untuk mendoakan para korban bencana di daerah lain, saya merasakan sesuatu yang hangat:
Tuban masih punya empati. Tuban masih punya hati.
Di masa ketika politik sering memecah, budaya sering dipinggirkan, dan pembangunan sering direduksi menjadi angka-angka, momen ini adalah penegas bahwa masyarakat Tuban tidak kehilangan karakter gotong royongnya.
Itu modal sosial terbesar yang dimiliki Bumi Ronggolawe.
Kahitna dan Arsy: Euforia yang Baik, Tapi Jangan Sampai Kita Lupa Bekerja
Dalam setiap perayaan, hiburan adalah bumbu yang sah. Kehadiran artis nasional memberikan warna dan energi. Namun yang lebih penting adalah bagaimana energi itu diterjemahkan menjadi pekerjaan-pekerjaan nyata setelah acara usai.
Perayaan boleh glamor, tapi pembangunan harus jujur.
Seni boleh meriah, tapi pelayanan publik harus bersih.
Kembang api boleh membahana, tapi birokrasi harus transparan.
“Karya Cinta”: Untuk Siapa? Dari Siapa? Dan Mengapa Penting?
Bupati Tuban menyebut perayaan ini sebagai persembahan cinta bagi masyarakat. Itu pesan yang baik. Tetapi cinta sejati bekerja bukan hanya pada malam yang gemerlap—ia bekerja diam-diam, setiap hari, di ruang-ruang kecil negeri ini.
Cinta adalah ketika anggaran tepat sasaran.
Cinta adalah ketika musrenbang bukan formalitas.
Cinta adalah ketika rakyat kecil tidak lagi berputar-putar mencari keadilan.
Cinta adalah ketika Tuban tidak hanya cantik di panggung, tapi juga kuat di akarnya.
Jika “Karya Cinta” ingin menjadi lebih dari slogan, maka cinta itu harus hadir dalam keputusan-keputusan sulit, bukan hanya dalam tepuk tangan ribuan orang.
Penutup: Tuban Sedang Kita Guratkan Bersama
Sebagai wartawan, seniman, sekaligus warga Tuban yang tumbuh dengan nilai-nilai budaya Bumi Ronggolawe, saya hanya berharap satu hal:
Tuban dibangun bukan hanya untuk dikenang dalam laporan acara, tetapi untuk diwariskan dengan bangga kepada generasi berikutnya.
Malam puncak Hari Jadi boleh meriah. Namun pekerjaan besar justru dimulai setelah panggung dibongkar dan lampu-lampu dimatikan.
Dari sanalah karya cinta yang sesungguhnya diuji.






























