Bojonegoro, Ronggolawe News — Polemik operasional batching plant tanpa izin lengkap di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, kembali menyeruak ke permukaan dan kini memasuki fase yang menuntut ketegasan nyata dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Bukan hanya soal pelanggaran administratif, dugaan pembiaran yang berlangsung lebih dari satu bulan ini telah menempatkan pemerintah daerah dalam sorotan tajam publik—terutama terkait potensi hilangnya pendapatan daerah dan lemahnya penegakan regulasi.
Ketidakjelasan Sikap Pemkab Mulai Dipertanyakan
Hingga akhir Desember 2025, aktivitas produksi di lokasi batching plant tersebut masih berjalan normal. Lalu-lalang truk mixer, tanpa satu pun papan identitas usaha, mempertegas dugaan bahwa fasilitas tersebut tetap beroperasi meski indikasi ketidaklengkapan izin makin kuat.
Konfirmasi berlapis kepada dinas teknis—mulai dari DPMPTSP, Satpol PP, hingga DLH—mengarah pada kesimpulan serupa:
Tidak ditemukan bukti bahwa pengelola telah mengantongi PBG, SLF, maupun perizinan lingkungan.
Padahal, untuk kategori usaha berisiko tinggi, batching plant wajib mengantongi seluruh izin sebelum aktivitas produksi dimulai.
Operasional tanpa legalitas bukan hanya melanggar sistem Perizinan Berbasis Risiko, tetapi juga membuka potensi:
kerusakan lingkungan,
risiko keselamatan kerja,
kualitas konstruksi yang tidak terjamin,
serta hilangnya pendapatan daerah dari pajak dan retribusi.
Perbandingan Penegakan Hukum yang Tidak Simetris
Sorotan publik semakin panas ketika kasus ini dibandingkan dengan perlakuan pemerintah daerah terhadap PT Sata Tec Indonesia. DPRD dan Pemkab bersikap tegas: menggelar rapat dengar pendapat, menghentikan aktivitas pabrik, hingga sidak langsung oleh Wakil Bupati pada Juni 2025.
Bandingkan dengan kasus batching plant Sumengko—sudah lebih dari sebulan sejak temuan ini mencuat, tetapi belum ada tindakan signifikan. Hal ini memunculkan dugaan bahwa pemerintah daerah bersikap tidak konsisten, bahkan dapat menciptakan persepsi “tebang pilih”.
Dampak pada Iklim Usaha: Persaingan Tidak Adil dan Erosi Kepercayaan
Para pelaku usaha lokal menilai pembiaran ini bukan hanya merusak tatanan hukum, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat.
Pelaku usaha tanpa izin tentu memiliki beban biaya yang lebih rendah dibanding perusahaan yang memenuhi aturan.
Kondisi ini mengancam:
kepercayaan investor,
keadilan bagi pelaku usaha patuh,
dan reputasi Bojonegoro sebagai daerah ramah investasi.
Seorang tokoh masyarakat menegaskan:
“Jika perusahaan tanpa izin dibiarkan beroperasi, maka pemerintah sendiri sedang merusak marwah regulasinya.”
Bupati Setyo Wahono Diminta Turun Langsung
Ketidakhadiran pernyataan resmi dari jajaran Pemkab—Wakil Bupati, DPMPTSP, Satpol PP, maupun DLH—membuat publik menunggu langkah konkret dari Bupati Setyo Wahono.
Di tengah sorotan yang semakin intens, masyarakat berharap kepala daerah turun langsung untuk:
memastikan kepatuhan hukum,
menindak aktivitas ilegal,
memulihkan kepercayaan publik,
dan menertibkan seluruh usaha berisiko tinggi di Bojonegoro.
Menanti Sikap Tegas Pemerintah Kabupaten
Dalam konteks investasi dan regulasi, ketegasan bukan hanya opsi—tetapi kebutuhan. Pemerintah daerah harus menunjukkan bahwa Peraturan Daerah bukan sekadar dokumen formal, melainkan instrumen hukum yang hidup dan ditegakkan tanpa kompromi.
Jika tidak, Bojonegoro berisiko kehilangan:
pendapatan daerah,
kepercayaan pelaku usaha,
dan kredibilitas penegakan hukum.
Redaksi Ronggolawe News masih membuka ruang konfirmasi dan akan memperbarui pemberitaan begitu Pemkab Bojonegoro memberikan keterangan resmi.
Publik kini menunggu: apakah pemerintah akan bertindak, atau justru membiarkan preseden buruk ini terus bergulir tanpa kepastian hukum?
Reportase Media Ronggolawe News
Mengabarkan





























