Jakarta, Ronggolawe News – PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) angkat bicara ihwal temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan potensi kerugian US$515,21 juta atau sekitar Rp.8,38 triliun dari proyek Grass Root Refinery (GRR) atau Kilang Tuban.
Corporate Secretary KPI Hermansyah Y Nasroen mengatakan perseroan telah berkoordinasi dengan BPK ihwal temuan potensi kerugian proyek kilang berkongsi dengan perusahaan migas asal Rusia, PJSC Rosneft Oil Company.
“KPI telah dan akan terus berkoordinasi dengan BPK terkait dengan tindak lanjut rekomendasi atas temuan tersebut,” kata Hermansyah saat dikonfirmasi, Kamis (5/6/2025).
Di sisi lain, Hermansyah menerangkan, KPI telah mendapatkan penasihat keuangan atau financial advisor berkaitan dengan upaya untuk mengamankankan fasilitas pembiayan proyek eksternal bagi proyek ini.
Dia menargetkan keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID) untuk GRR Tuban bisa rampung dalam waktu dekat.
“FID GRR Tuban saat ini sedang dalam proses review dan finalisasi,” tuturnya.
Dana Investasi
Sebelumnya, BPK menemukan adanya potensi kerugian dari proyek GRR Tuban yang dikerjakan PT Pertamina (Persero) bersama dengan afiliasi Rosfneft di Singapura, Rosneft Singapore Pte Ltd (dahulu Petrol Complex Pte Ltd).
Indikasi kerugian itu didasari pada dana yang telah dikeluarkan PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP), usaha patungan PT Pertamina (Persero) dan Rosneft Singapore Pte Ltd.
Pertamina lewat anak usahanya, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), memegang saham 55% pada PRPP, sedangkan 45% saham lainnya dikuasai Rosneft Singapore.
Lewat proporsi kepemilikan saham itu, BPK mensinyalir, indikasi kerugian yang ditanggung Pertamina mencapai US$416,34 juta atau sekitar Rp6,77 triliun.
“Pertamina dan KPI telah merealisasikan dana senilai US$416,34 juta yang berpotensi merugikan keuangan perusahaan apabila proyek tidak disetujui pelaksanaannya,” tulis BPK dalam dokumen Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (DTT) dikutip Kamis (5/6/2025).
BPK membeberkan Pertamina telah mengeluarkan dana senilai US$295,51 juta untuk pengadaan lahan,pembebasan lahan(earlywork/land clearing),dan pengembangan lahan (site development).
Sementara itu, PRPP telah mengeluarkan dana senilai US$219,69 juta untuk desain teknik dasar atau basic engineering design (BED), pemberi lisensi, konsultan manajemen proyek, biaya hukum, studi, personel, dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang tidak dapat dikembalikan sampai dengan 31 Desember 2022.
BPK berpendapat potensi kerugian itu berasal dari ketidakpastian kelanjutan proyek GRR Tuban yang telah berlarut-larut. Proyek ini diinisiasi sejak 2015.
Sampai saat ini, Pertamina bersama dengan Rosneft tidak kunjung mengunci keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID) atas proyek megakilang senilai US$20,7 miliar tersebut.
Molornya penetapan FID disebabkan karena kendala penetapan lokasi tanah yang baru diperoleh pada Januari 2019, pandemi Covid-19 hingga kondisi geopopolitik yang turut memengaruhi seleksi penasihat keuangan.
Berdasarkan keterangan BPK, Pertamina belum dapat menggandeng financial advisor untuk memastikan fasilitas pembiayan proyek eksternal bagi proyek ini. Situasi tersebut berdampak pada tersendatnya penetapan FID selama bertahun-tahun.
Rencanannya, proyek dengan nilai investasi sebesar US$20,8 miliar itu akan dibiayai lewat equity sebesar 40% dan utang sebesar 60%. Adapun, komitmen pendanaan dari Rosneft senilai US$7 miliar dan Pertamina sejumlah US$8,6 miliar.
Ihwal porsi modal itu, bagian Pertamina sebesar US$4,55 miliar dan Rosneft sebesar US$3,72 miliar. Sementara itu, sisa pendanaan senilai US$5,2 miliar akan dibiayai lewat EPC financing.
Sumber : Bloomberg Technoz
Reportase Media Ronggolawe News
Mengabarkan